BRAK.
Akaru Heiwajima terjatuh dari tempat tidurnya. Sudah yang ketiga kalinya dia bermimpi buruk tentang sepatu-sepatu berjalan yang mengejarnya. Kini Akaru sudah tidak tahan lagi, akhirnya dia bangkit dan melemparkan sandal rumahnya ke sudut kamarnya. Sandal berbentuk stroberi itu bisa berubah menjadi stroberi raksasa yang akan memakannya, berdasarkan mimpi Akaru. Mulai saat ini Akaru akan mencoba membenci stroberi.
“Kakak, sudah bangun?” teriak Kaoru Heiwajima, adiknya. Meskipun adik, Kaoru lebih bertanggung jawab daripada Akaru. Tetapi mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Sekarang Kaoru sedang membaca buku di ruang keluarga. Hentakan sandal Akaru terdengar sampai ke lantai bawah.
“Belum! Aku mau tidur lagi! Kaa-san mana?” teriak Akaru dari atas. Dia benar-benar mau tidur lagi, karena hari ini hari minggu, dan karena hampir setengah malamnya dia habiskan untuk menyelamatkan diri dari monster sepatu yang akan memakannya. Meskipun itu hanya mimpi, rupanya cukup melelahkan bagi Akaru.
“Sedang keluar. Aku tidak tahu ke mana. Mau tidur lagi? Kenapa? Mimpi yang sama?”
“Ya. Sudahlah! Aku semakin tidak bisa membuka mata! Selamat pagi!” lalu Akaru menyusup masuk ke dalam selimutnya dan tertidur hingga siang. Kaoru memandang ke arah langit-langit dan menjawab pelan.
“Selamat pagi juga, kakak.”
BRAK.
“Akaru, mau semangka?”
Suara berisik datang dari arah tangga. Berkeriat-keriut, membuat telinga sakit. Tetapi Kaoru tidak komplain sama sekali.
“Mau, mau. Beli di mana?” kata Akaru sambil mengambil potongan semangka di piring dan membawanya ke halaman belakang. Kaoru mengikutinya.
“Nggak tahu. Kaa-san yang beli.”
Mereka memakan semangka itu hingga licin tak berbekas, kecuali kulitnya pasti. Akaru membuang kulit-kulitnya yang berserakan ke tempat sampah. Lalu dia berlari lagi ke halaman belakang. Suasana di sana tenang dan damai, membuat hati Akaru yang suntuk segar kembali.
“Kaoru,” katanya tiba-tiba.
“Apa…?”
“Kalau kau kujadikan kelinci percobaan mau tidak?”
“Wah, kalau Akaru bilangnya seperti itu, jadi terasa seperti percobaan berbahaya…”
Akaru tergelak. “Ya bukan! Nggak mungkin aku mau meracuni adikku tersayang ini…” kata Akaru sambil merangkul Kaoru yang tidak sempat menghindar.
“Yaaah, kakak, ‘kan sudah kubilang jangan menarikku seperti ini. Aku mau deh, jadi ‘kelinici’mu, asal nggak aneh-aneh.”
“Oke,” kata Akaru, masih tetap menahan Kaoru erat-erat di lengannya. “Kalau begitu, aku mau kau jadi pencicip masakanku.”
Dengan susah payah Kaoru melepaskan diri dari cengkeraman kakaknya dan memandangnya dengan heran. “Tumben mau masak??”
“Bukan. Aku masih Akaru yang biasa, yang tidak mau menyentuh dapur sedikitpun. Tetapi kali ini ada tugas dari Maaki Senpai, menjengkelkan sekali, disuruh buat masakan…–“
“Aku saja yang kerjakan!”
“Nggak, Kaoru. Aku saja. Kamu yang mencicipi.”
Raut wajah Kaoru menunjukkan bahwa dia kecewa. “Oke, kapan mulai?”
“Sekarang…?”
“A-Yo!”
Kaoru bangkit dan menarik Akaru menuju dapur. Sebenarnya dapur mereka tidak hancur-hancur amat. Hanya saja Akaru paling benci dengan urusan masak memasak. Kini dia terpaksa memasak, walaupun ternyata 50% Kaoru-lah yang mengerjakan tugasnya.
“Mau buat apa, Akaru?”
Ibu mereka, Aya Heiwajima, masuk secara tiba-tiba dari luar. Mengagetkan kedua anak laki-lakinya yang langsung menjatuhkan segala yang mereka bawa saat itu. Bunyi berkelontangan memenuhi dapur. Akaru menutup telinga, sementara Kaoru menatap ibunya dengan perasaan bersalah.
“Ma’af,” katanya sambil meringis.
“Tidak, bukan salahmu, Kaoru.” kata Aya sambil tersenyum. “Bereskan saja kembali.”
“Ah, baik.”
“Maaf. Mau buat apa kalian?”
“Masakan. Kau punya ide?” kata Akaru sambil mengambil panci dan sendok yang tadi dijatuhkannya. Dia berjalan ke sudut, mengambil peralatan lainnya yang menggelinding ke arah itu.
“Kau bisa memasak yang paing gampang, nasi goreng misalnya, atau buat saja onigiri…” kata Aya sambil lalu.
“Dilarang buat onigiri, kata Maaki senpai. Harus buat masakan luar, tidak boleh masakan Jepang…”
“Gurumu itu ada-ada saja,” kata Kaoru. “Buat saja Napolitan Spaghetti.”
“Brilian,” sahut Aya dari luar. “Kalian buat sendiri, dan bereskan sendiri. Aku tidak mau tahu. Pokoknya, kalau aku kembali dan kalian sudah selesai, dapur harus bersih kembali. Aku pergi dulu.”
Sepeninggal ibu mereka, Kaoru langsung lari ke kamarnya mengambil resep Napolitan Spaghetti. Karena kamarnya berantakan, Kaoru hanya tinggal membuat semua barang yang berserakan itu menyingkir dan langsung menemukan resepnya.
“Ini untuk dua orang, kak.” Kata Kaoru sambil menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang sudah kumal sambil meringis.
“Kaoru… ini kamu nulisnya kapan?” kata Akaru melihat bekas-bekas tumpahan air di sepanjang pinggirannya. “Aku nggak heran kalau tenyata kamu habis meremas-remasnya lalu kau lemparkan ke tong sampah.”
“Nggak kok! Sori deh,” tukas adiknya di seberang dapur. “Memang sudah lama sekali, tetapi aku tidak meremasnya dan membuangnya. Itu ada di tumpukan berkas-berkas nggak kepakaiku. Paling bawah.” Dia mengeluarkan satu kotak spaghetti dari lemari dapur dan memanaskannya. “Aku mulai.”
Selama beberapa saat mereka melupakan keadaan sekitar mereka. Kaoru bahkan lupa menonton acara kesukaannya. Dia sibuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang tertera di resepnya. Akaru membantunya sedikit-sedikit. Seperti yang sudah diperkirakan tadi, meskipun ini tugas Akaru, 50% Kaoru-lah yang mengerjakan semuanya. Karena terlalu larut dalam masakan yang tak kunjung jadi itu, mereka tidak menyadari kalau hari sudah mulai gelap.
Aya datang dan langsung menuju dapur. Dia sudah mendapat firasat bahwa dapurnya akan berakhir tragis di tangan kedua putranya itu. Tetapi firasatnya salah, karena dapurnya masih bersih dan kelihatannya malah sedikit lebih rapi daripada sebelumnya. Pasti hasil pekerjaan Kaoru. Dia memang sedikit lebih rajin.
Lega melihat dapurnya tidak apa-apa, Aya naik ke atas mencari kedua putranya. Tidak ada siapa-siapa di bawah, keadaan sepi sekali. Dia mengintip ke kamar Akaru. Ternyata mereka berdua ada di sana, tertidur dengan pakaian lengkap di lantai. Keduanya tampak pulas, walaupun di atas dinginnya lantai kayu. Aya tidak bermaksud membangunkan mereka. Dia hanya menyelimuti mereka dengan selimut tebal Kaoru dan tersenyum.
“Akaru, bagaimana nilainya?”
“Nilai?”
“Spaghetti.”
“Ooh, dapat nilai tertinggi kedua setelah Kana-chan. Dia membuat Parfait yang benar-benar enak, sampai membuat Maaki-sama terkesan.”
“Bukannya spaghetti-mu juga enak? Kenapa tidak dapat nilai pertama? Menurutku itu enak kok, pantas dapat nilai pertama.”
“Itu ‘kan katamu. Kaoru juga pasti berpendapat sama. Pendapat Maaki-sama pasti berbeda.”
“Iya, iya. Omong-omong, mana Kaoru?”
“… Bukannya dia di belakangku tadi?”
“Tidak ada siapa-siapa setelah kau masuk.”
“… Lho??!”
“Sebaiknya kau cari dia. Telusuri jalan pulangmu tadi. Cepat! Sebelum terlambat!”
Harusnya aku bilang pada Akaru, kalau aku akan pergi sebentar. Kalau aku bilang, pasti takkan seperti ini hasilnya.
Kaoru Heiwajima terbangun di ranjang rumah sakit. Di sampingnya ada Akaru yang tertidur karena kelelahan menangis. Dia tidak mau beranjak dari sana sejak Kaoru masuk rumah sakit sampai sekarang, meskipun Aya memaksanya. Karena Akaru keras kepala, akhirnya Aya meninggalkannya di sana dua hari yang lalu.
“A…karu?”
Kakaknya tidak bergerak seincipun. Kaoru menyadari bahwa Akaru benar-benar kelelahan menungguinya. Dia jadi tidak enak sendiri. Akhirnya Kaoru mengurungkan niatnya untuk membangunkannnya. Lalu sepotong kalimat tertangkap dalam pandangannya.
Aku benar-benar berharap dia akan cepar sadar.
Kaoru tahu pasti tulisan tangan siapa itu. Siapa lagi kalau bukan orang yang tertidur ini? Tulisannya yang khas, kecil-kecil dan rapi, ada di laporan data pasien. Kaoru Heiwajima, begitu di kolom pertama. Kemudian gegar otak ringan tercantum di kolom bawahnya dan 2 hari tertera di bawahnya lagi. Kaoru meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang –pasti Akaru yang membawanya– dan melihat kalender. Sekarang hari Kamis, 16 Juni. Cahaya dari layar ponsel berpendar di kegelapan ruangan. Menerangi Kaoru yang terpana melihat kalender kecil itu.
Bukannya Spaghetti Akaru dikumpulkan dua hari yang lalu? Pikirnya.Lalu aku tiba-tiba terbangun dua hari setelahnya. Setelah aku terkena serangan mendadak waktu itu. Berarti selama ini aku koma?
Mau tidak mau Kaoru menganggap hal ini keren, meskipun tidak jelas apa yang membuatnya begitu di matanya. Dia masih ingat, dua hari yang lalu dia meninggalkan kakaknya sendirian pulang ke rumah untuk ke sebuah toko yang menjual barang-barang kesukaan Akaru. Dia ingin memberikannya pada kakaknya, karena beberapa hari lagi dia ulang tahun dan selama dua tahun terakhir Akaru tidak mendapat apa-apa dari siapapun. Lalu di depan toko itu dia terdorong oleh seseorang dan tergelincir jauh dari toko yang semula ingin didatanginya.
Sekarang Kaoru ingin berbuat baik, malah dia sendiri yang celaka. Dan bukannya mengkhawatirkan diri sendiri, dia malah memikirkan hadiah apa yang kira-kira cocok setelah keadaannya yang begini. Dia duduk dalam gelap, memperhatikan naik turun punggung kakaknya yang pulas. Rasa kasihan memenuhi Kaoru, lalu tangannya reflek menyentuh punggung itu dan akibatnya Akaru terlonjak bangun.
“Ah! Ma’afkan aku!” sesal Kaoru.
Akaru diam sebentar. Mengidentifikasi siapa yang berada di depannya dengan keadaan setengah tidur. Dia belum bangun benar. Lalu seakan disiram dengan air dingin, dia memekik pelan.
“Kaoru!”
“Ssh,” bisik adiknya. “Kau membangunkan semua orang!”
“Tidak, tidak, ini bukan mimpi. Aku terbangun, ya ‘kan Kaoru? Aku sudah terjaga? Iya ‘kan?”
“. . . “
“A-yolah, aku hanya ingin memastikan, aku tidak berhalusinasi.”
“. . . Akaru. . .”
Lalu mereka berdua diam dalam gelap. Tangan mereka saling menggenggam satu sama lain.
“Lebih baik, kita tidur lagi,” kata Akaru akhirnya.
Kaoru mengangguk menyetujui. “Baiklah.”
Aya datang menjenguk keesokan harinya. Dia benar-benar kaget ketika mengetahui kalau Kaoru sudah sadar, dan cepat-cepat pergi ke rumah sakit.
“Ini harus dirayakan!” pekiknya.
“Kau ini, sudah tua tetapi sifatnya masih kekanak-kanakkan,” tukas Akaru. “Ngapain mengadakan perayaan?”
Aya melemparkan pandangan mencela kearahnya. “Memangnya tidak boleh? Lagipula kau tidak senang Kaoru sadar?”
“Yah… Senang sih. Tapi aku tidak separah kamu.”
Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar mandi. Aya hanya mendesah. Begitulah sifatnya.
“Tetapi, aku tidak ingin dia syok karena kenyataan.”
Aya Heiwajima memelankan suaranya di ruang dokter.
“Saya mengerti perasaan anda sebagai orang tua, tetapi dia harus tahu, agar bisa menjaga diri sendiri. Saya yakin dia tidak akan syok. Apalagi ini sudah berlangsung selama dua tahun. Tidak mungkin dia tidak menyadari…”
Aya terdiam. Sifat Kaoru memang tenang dan dia tidak terlalu meledak-ledak seperti Akaru. Tetapi masa anak itu tidak pernah merasa terkejut? Mengetahui kenyataan bahwa hidupnya tak lama lagi, apakah dia akan hanya mengatakan ‘oh? Begitu? Kalau begitu aku harus lebih berhati-hati lagi’ dengan wajah kalem dan tersenyum sementara Aya akan berjengit melihatnya. Adegan itu terbayang-bayang di pikirannya selama dia berjalan kembali menuju kamar Kaoru.
Ketika dia memutar gagang pintu, ternyata pintunya terkunci.
“Kao-chan, jangan di sana!” Terdengar suara Akaru.
Lalu terdengar suara seseorang jatuh.
“Kaoru?! Kaoru, ada apa?! Buka pintunya, sekarang!”
Sudah tiga menit Aya menunggu di depan pintu dengan cemas. Akhirnya terbukalah pintu abu-abu itu. Akaru-lah yang membukanya. Dia tersenyum dan membuka pintu itu semakin lebar.
“Tidak usah cemas. Hanya aku yang jatuh dari sofa.”
Aya menyerbu masuk dan melihat Kaoru masih terbaring di tempat tidurnya. Matanya tampak lelah. Ada lingkaran hitam di bawahnya. Dia melambaikan tangannya dengan lemah dari tempat tidur.
“Ooka-san…”
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
Kaoru menggeleng lemah. Rambutnya tampak acak-acakan dan kelihatannya detak jantungnya sempat sedikit lebih cepat tiga menit yang lalu. “Tidak ada. Hanya kami sedikit ‘bermain’…” Dia menyeringai. Jari-jarinya bergerak-gerak seolah mendeskripsikan ‘permainan’ yang mereka mainkan selama Aya pergi ke ruang dokter.
“Benar, tidak usah khawatir. Kami tidak bermain yang berbahaya kok… sudah lama sekali sejak permainan terakhir kita, ya ‘kan, Kao? Kami hanya ingin bernostalgia sementara ooka-san pergi. Untuk mengisi waktu.” Jelas Akaru. Nada suaranya terdengar meyakinkan. Aya mendesah panjang. Dia terhenyak di sofa dan mulai tertidur.
“oke, sekarang biarkan aku tidur… aku capek… selamat malam…” lalu dia sudah tidur dengan lelap. Setidaknya, itulah yang terlihat oleh Akaru dan Kaoru. Lalu Akaru yang masih ada di dekat pintu berjalan ke tempat tidur Kaoru dan duduk di atasnya. Dia mengehembuskan nafas panjang.
“Apakah kira-kira ooka-san tahu?” tanya Kaoru.
Akaru menggeleng. “Aku rasa tidak.” Lalu dia bangkit dan berjalan ke sofa, menutupi ibunya dengan selimut. “Tetapi sebaiknya kita tidak ‘bermain’ di depannya seperti ini, walaupun dia sedang tidur.”
“Kakak benar…” kata Kaoru. Dia menghela nafas panjang. “Lebih baik aku tidur juga, ya?”
Akaru mengangguk. “Selamat malam.” Katanya dengan lembut lalu mematikan lampu.
“Ehm, anak-anak… Ada yang ingin kuberitahukan pada kalian…” kata Aya dengan gelisah di sofa.
Sudah lebih dari seminggu Kaoru dirawat di rumah sakit sementara dia sendiri tidak tahu sedang sakit apa. Sekarang tampaknya Aya akan mengungkapkan segalanya. Kaoru duduk tegak dan memasang telinga dengan baik di atas tempat tidurnya, sementara Akaru ada di sampingnya.
Aya terpana melihat pemandangan itu. mulutnya, yang semula ingin memberitahu penyakit Kaoru, malah diam setengah membuka.
“Ooka-san?”
“Ah, iya,” Aya kaget. “Sampai mana aku tadi?”
“… Pemberitahuan…”
Aya mendesah pelan. Haruskah dia memberitahu mereka tentang ini?
“Kao… kau tahu kenapa kamu dirawat di sini sangat… lama?” suaranya tercekat. Sementara Kaoru menggeleng lemah. Tangannya mencari-cari tangan Akaru, lalu menggenggamnya dengan erat di bawah selimut.
“Leukimia… stadium akhir…” suara Aya kini tak lebih dari sebuah bisikan. Dia menunduk, tak kuasa menahan air mata yang sudah terburu-buru berlarian ke pelupuk matanya. Hatinya bergetar, malah dia yang tidak bisa menerima kenyataan.
“Oh… Benarkah…?” ucap Kaoru tenang. Tetapi terlihat jelas dari caranya berbicara bahwa ia terkejut sekali. Antara pasrah dan tidak mau menerima. Akhirnya dia menangis juga. Untuk kali ini, dia menunjukkan sisi kelemahannya. Dia terdiam di pelukan Aya sambil menangis. Akaru hanya diam. Tangannya masih menggenggam tangan Kaoru.
“Tapi, Aya, stadium akhir…? Berarti harusnya Kaoru… Kaoru sudah lemah…! Tidak bisa terlalu banyak bergerak! Rambutnya akan mulai rontok! Tetapi lihatlah Kao sekarang! Apa… apa dia terlihat sakit…??” tukas Akaru.
“Aku tahu… Ini tidak wajar…” jawab Aya pelan.
“Pasti ada kekeliruan! Pasti! Ini tidak bisa dipercaya!! Ini…-“
“Sudahlah, Kak…” sela Kaoru.
Akaru memeluknya dan mereka berdua menangis sekali lagi.
“Kaoru,”
“Ya, kak?”
Akaru mendesah. “Sampai kapan kau mau terus memanggilku ‘kak’? Secara teknis aku ini bukan kakakmu yang sebenarnya…”
“Memang… Tetapi sebagai yang memegang peran uke, pasti lebih cocok kalau aku memanggilmu ‘kak’ daripada memanggil namamu sendiri, Akaru…” Kaoru tersenyum.
“Kau ini…”
“Apa mau kupanggil Aka-chan?”
“Nggak! Makasih deh!!”
Diam sejenak.
“Kak, ‘permainan’ kita ini… apakah akan terus berlanjut?”
“Tidak. Sampai kau benar-benar pulih, sampai kau benar-benar sehat…”
“Tapi, kak, aku ingin melakukannya sekali saja, sebelum kematianku…”
“JANGAN BERBICARA BEGITU!”
“…”
“Kau ini… jangan pesimis akan mati begitu saja…” Akaru merengkuhnya dalam pelukannya. Menghukumnya karena perkataan sembarangannya tersebut. “Aku… tidak akan melepaskanmu begitu saja… Makanya, kau jangan mati dulu…”
“Kenapa?”
“Apakah jalan terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah adalah mati?”
“Tidak…”
“Makanya…. Tunggu sampai waktuku tiba. Baru aku akan memperbolehkanmu meninggalkan dunia ini…”
***
Kaoru Heiwajima meninggal di kamar Akaru pada Minggu pagi, 1 Januari 2012, tepat setahun setelah pemberitahuan Aya di rumah sakit. Ketika Aya menemukannya terbaring di bawah selimut biru cerah milik Akaru, sedang melingkarkan tangannya pada leher Akaru, wajahnya terlihat… bahagia. Entah apa yang bisa mendeskripsikan keadaan wajahnya kala itu, tetapi yang paling mendekati adalah bahagia.
“Syukurlah kau bisa meninggal dengan tenang, Kao-chan…” bisiknya pagi itu. Aya entarh mengapa merasa bahagia dan tidak bisa menahan senyumnya. Tampaknya dia sedikit-sedikit tahu ‘permainan’ apa yang dilakukan mereka selama ini. Melihat beberapa kejadian yang sudah terjadi dan menilik bahwa Kaoru bukanlah adik Akaru yang sebenarnya.
Aya tersenyum sekali lagi, tetapi kini lebih memancarkan kesedihan.
“Aku senang, Kao… Tetapi aku tidak mengharapkan kau meninggalkanku juga, Akaru…”
Akaru Heiwajima terjatuh dari tempat tidurnya. Sudah yang ketiga kalinya dia bermimpi buruk tentang sepatu-sepatu berjalan yang mengejarnya. Kini Akaru sudah tidak tahan lagi, akhirnya dia bangkit dan melemparkan sandal rumahnya ke sudut kamarnya. Sandal berbentuk stroberi itu bisa berubah menjadi stroberi raksasa yang akan memakannya, berdasarkan mimpi Akaru. Mulai saat ini Akaru akan mencoba membenci stroberi.
“Kakak, sudah bangun?” teriak Kaoru Heiwajima, adiknya. Meskipun adik, Kaoru lebih bertanggung jawab daripada Akaru. Tetapi mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Sekarang Kaoru sedang membaca buku di ruang keluarga. Hentakan sandal Akaru terdengar sampai ke lantai bawah.
“Belum! Aku mau tidur lagi! Kaa-san mana?” teriak Akaru dari atas. Dia benar-benar mau tidur lagi, karena hari ini hari minggu, dan karena hampir setengah malamnya dia habiskan untuk menyelamatkan diri dari monster sepatu yang akan memakannya. Meskipun itu hanya mimpi, rupanya cukup melelahkan bagi Akaru.
“Sedang keluar. Aku tidak tahu ke mana. Mau tidur lagi? Kenapa? Mimpi yang sama?”
“Ya. Sudahlah! Aku semakin tidak bisa membuka mata! Selamat pagi!” lalu Akaru menyusup masuk ke dalam selimutnya dan tertidur hingga siang. Kaoru memandang ke arah langit-langit dan menjawab pelan.
“Selamat pagi juga, kakak.”
BRAK.
“Akaru, mau semangka?”
Suara berisik datang dari arah tangga. Berkeriat-keriut, membuat telinga sakit. Tetapi Kaoru tidak komplain sama sekali.
“Mau, mau. Beli di mana?” kata Akaru sambil mengambil potongan semangka di piring dan membawanya ke halaman belakang. Kaoru mengikutinya.
“Nggak tahu. Kaa-san yang beli.”
Mereka memakan semangka itu hingga licin tak berbekas, kecuali kulitnya pasti. Akaru membuang kulit-kulitnya yang berserakan ke tempat sampah. Lalu dia berlari lagi ke halaman belakang. Suasana di sana tenang dan damai, membuat hati Akaru yang suntuk segar kembali.
“Kaoru,” katanya tiba-tiba.
“Apa…?”
“Kalau kau kujadikan kelinci percobaan mau tidak?”
“Wah, kalau Akaru bilangnya seperti itu, jadi terasa seperti percobaan berbahaya…”
Akaru tergelak. “Ya bukan! Nggak mungkin aku mau meracuni adikku tersayang ini…” kata Akaru sambil merangkul Kaoru yang tidak sempat menghindar.
“Yaaah, kakak, ‘kan sudah kubilang jangan menarikku seperti ini. Aku mau deh, jadi ‘kelinici’mu, asal nggak aneh-aneh.”
“Oke,” kata Akaru, masih tetap menahan Kaoru erat-erat di lengannya. “Kalau begitu, aku mau kau jadi pencicip masakanku.”
Dengan susah payah Kaoru melepaskan diri dari cengkeraman kakaknya dan memandangnya dengan heran. “Tumben mau masak??”
“Bukan. Aku masih Akaru yang biasa, yang tidak mau menyentuh dapur sedikitpun. Tetapi kali ini ada tugas dari Maaki Senpai, menjengkelkan sekali, disuruh buat masakan…–“
“Aku saja yang kerjakan!”
“Nggak, Kaoru. Aku saja. Kamu yang mencicipi.”
Raut wajah Kaoru menunjukkan bahwa dia kecewa. “Oke, kapan mulai?”
“Sekarang…?”
“A-Yo!”
Kaoru bangkit dan menarik Akaru menuju dapur. Sebenarnya dapur mereka tidak hancur-hancur amat. Hanya saja Akaru paling benci dengan urusan masak memasak. Kini dia terpaksa memasak, walaupun ternyata 50% Kaoru-lah yang mengerjakan tugasnya.
“Mau buat apa, Akaru?”
Ibu mereka, Aya Heiwajima, masuk secara tiba-tiba dari luar. Mengagetkan kedua anak laki-lakinya yang langsung menjatuhkan segala yang mereka bawa saat itu. Bunyi berkelontangan memenuhi dapur. Akaru menutup telinga, sementara Kaoru menatap ibunya dengan perasaan bersalah.
“Ma’af,” katanya sambil meringis.
“Tidak, bukan salahmu, Kaoru.” kata Aya sambil tersenyum. “Bereskan saja kembali.”
“Ah, baik.”
“Maaf. Mau buat apa kalian?”
“Masakan. Kau punya ide?” kata Akaru sambil mengambil panci dan sendok yang tadi dijatuhkannya. Dia berjalan ke sudut, mengambil peralatan lainnya yang menggelinding ke arah itu.
“Kau bisa memasak yang paing gampang, nasi goreng misalnya, atau buat saja onigiri…” kata Aya sambil lalu.
“Dilarang buat onigiri, kata Maaki senpai. Harus buat masakan luar, tidak boleh masakan Jepang…”
“Gurumu itu ada-ada saja,” kata Kaoru. “Buat saja Napolitan Spaghetti.”
“Brilian,” sahut Aya dari luar. “Kalian buat sendiri, dan bereskan sendiri. Aku tidak mau tahu. Pokoknya, kalau aku kembali dan kalian sudah selesai, dapur harus bersih kembali. Aku pergi dulu.”
Sepeninggal ibu mereka, Kaoru langsung lari ke kamarnya mengambil resep Napolitan Spaghetti. Karena kamarnya berantakan, Kaoru hanya tinggal membuat semua barang yang berserakan itu menyingkir dan langsung menemukan resepnya.
“Ini untuk dua orang, kak.” Kata Kaoru sambil menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang sudah kumal sambil meringis.
“Kaoru… ini kamu nulisnya kapan?” kata Akaru melihat bekas-bekas tumpahan air di sepanjang pinggirannya. “Aku nggak heran kalau tenyata kamu habis meremas-remasnya lalu kau lemparkan ke tong sampah.”
“Nggak kok! Sori deh,” tukas adiknya di seberang dapur. “Memang sudah lama sekali, tetapi aku tidak meremasnya dan membuangnya. Itu ada di tumpukan berkas-berkas nggak kepakaiku. Paling bawah.” Dia mengeluarkan satu kotak spaghetti dari lemari dapur dan memanaskannya. “Aku mulai.”
Selama beberapa saat mereka melupakan keadaan sekitar mereka. Kaoru bahkan lupa menonton acara kesukaannya. Dia sibuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang tertera di resepnya. Akaru membantunya sedikit-sedikit. Seperti yang sudah diperkirakan tadi, meskipun ini tugas Akaru, 50% Kaoru-lah yang mengerjakan semuanya. Karena terlalu larut dalam masakan yang tak kunjung jadi itu, mereka tidak menyadari kalau hari sudah mulai gelap.
Aya datang dan langsung menuju dapur. Dia sudah mendapat firasat bahwa dapurnya akan berakhir tragis di tangan kedua putranya itu. Tetapi firasatnya salah, karena dapurnya masih bersih dan kelihatannya malah sedikit lebih rapi daripada sebelumnya. Pasti hasil pekerjaan Kaoru. Dia memang sedikit lebih rajin.
Lega melihat dapurnya tidak apa-apa, Aya naik ke atas mencari kedua putranya. Tidak ada siapa-siapa di bawah, keadaan sepi sekali. Dia mengintip ke kamar Akaru. Ternyata mereka berdua ada di sana, tertidur dengan pakaian lengkap di lantai. Keduanya tampak pulas, walaupun di atas dinginnya lantai kayu. Aya tidak bermaksud membangunkan mereka. Dia hanya menyelimuti mereka dengan selimut tebal Kaoru dan tersenyum.
“Akaru, bagaimana nilainya?”
“Nilai?”
“Spaghetti.”
“Ooh, dapat nilai tertinggi kedua setelah Kana-chan. Dia membuat Parfait yang benar-benar enak, sampai membuat Maaki-sama terkesan.”
“Bukannya spaghetti-mu juga enak? Kenapa tidak dapat nilai pertama? Menurutku itu enak kok, pantas dapat nilai pertama.”
“Itu ‘kan katamu. Kaoru juga pasti berpendapat sama. Pendapat Maaki-sama pasti berbeda.”
“Iya, iya. Omong-omong, mana Kaoru?”
“… Bukannya dia di belakangku tadi?”
“Tidak ada siapa-siapa setelah kau masuk.”
“… Lho??!”
“Sebaiknya kau cari dia. Telusuri jalan pulangmu tadi. Cepat! Sebelum terlambat!”
Harusnya aku bilang pada Akaru, kalau aku akan pergi sebentar. Kalau aku bilang, pasti takkan seperti ini hasilnya.
Kaoru Heiwajima terbangun di ranjang rumah sakit. Di sampingnya ada Akaru yang tertidur karena kelelahan menangis. Dia tidak mau beranjak dari sana sejak Kaoru masuk rumah sakit sampai sekarang, meskipun Aya memaksanya. Karena Akaru keras kepala, akhirnya Aya meninggalkannya di sana dua hari yang lalu.
“A…karu?”
Kakaknya tidak bergerak seincipun. Kaoru menyadari bahwa Akaru benar-benar kelelahan menungguinya. Dia jadi tidak enak sendiri. Akhirnya Kaoru mengurungkan niatnya untuk membangunkannnya. Lalu sepotong kalimat tertangkap dalam pandangannya.
Aku benar-benar berharap dia akan cepar sadar.
Kaoru tahu pasti tulisan tangan siapa itu. Siapa lagi kalau bukan orang yang tertidur ini? Tulisannya yang khas, kecil-kecil dan rapi, ada di laporan data pasien. Kaoru Heiwajima, begitu di kolom pertama. Kemudian gegar otak ringan tercantum di kolom bawahnya dan 2 hari tertera di bawahnya lagi. Kaoru meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang –pasti Akaru yang membawanya– dan melihat kalender. Sekarang hari Kamis, 16 Juni. Cahaya dari layar ponsel berpendar di kegelapan ruangan. Menerangi Kaoru yang terpana melihat kalender kecil itu.
Bukannya Spaghetti Akaru dikumpulkan dua hari yang lalu? Pikirnya.Lalu aku tiba-tiba terbangun dua hari setelahnya. Setelah aku terkena serangan mendadak waktu itu. Berarti selama ini aku koma?
Mau tidak mau Kaoru menganggap hal ini keren, meskipun tidak jelas apa yang membuatnya begitu di matanya. Dia masih ingat, dua hari yang lalu dia meninggalkan kakaknya sendirian pulang ke rumah untuk ke sebuah toko yang menjual barang-barang kesukaan Akaru. Dia ingin memberikannya pada kakaknya, karena beberapa hari lagi dia ulang tahun dan selama dua tahun terakhir Akaru tidak mendapat apa-apa dari siapapun. Lalu di depan toko itu dia terdorong oleh seseorang dan tergelincir jauh dari toko yang semula ingin didatanginya.
Sekarang Kaoru ingin berbuat baik, malah dia sendiri yang celaka. Dan bukannya mengkhawatirkan diri sendiri, dia malah memikirkan hadiah apa yang kira-kira cocok setelah keadaannya yang begini. Dia duduk dalam gelap, memperhatikan naik turun punggung kakaknya yang pulas. Rasa kasihan memenuhi Kaoru, lalu tangannya reflek menyentuh punggung itu dan akibatnya Akaru terlonjak bangun.
“Ah! Ma’afkan aku!” sesal Kaoru.
Akaru diam sebentar. Mengidentifikasi siapa yang berada di depannya dengan keadaan setengah tidur. Dia belum bangun benar. Lalu seakan disiram dengan air dingin, dia memekik pelan.
“Kaoru!”
“Ssh,” bisik adiknya. “Kau membangunkan semua orang!”
“Tidak, tidak, ini bukan mimpi. Aku terbangun, ya ‘kan Kaoru? Aku sudah terjaga? Iya ‘kan?”
“. . . “
“A-yolah, aku hanya ingin memastikan, aku tidak berhalusinasi.”
“. . . Akaru. . .”
Lalu mereka berdua diam dalam gelap. Tangan mereka saling menggenggam satu sama lain.
“Lebih baik, kita tidur lagi,” kata Akaru akhirnya.
Kaoru mengangguk menyetujui. “Baiklah.”
Aya datang menjenguk keesokan harinya. Dia benar-benar kaget ketika mengetahui kalau Kaoru sudah sadar, dan cepat-cepat pergi ke rumah sakit.
“Ini harus dirayakan!” pekiknya.
“Kau ini, sudah tua tetapi sifatnya masih kekanak-kanakkan,” tukas Akaru. “Ngapain mengadakan perayaan?”
Aya melemparkan pandangan mencela kearahnya. “Memangnya tidak boleh? Lagipula kau tidak senang Kaoru sadar?”
“Yah… Senang sih. Tapi aku tidak separah kamu.”
Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar mandi. Aya hanya mendesah. Begitulah sifatnya.
“Tetapi, aku tidak ingin dia syok karena kenyataan.”
Aya Heiwajima memelankan suaranya di ruang dokter.
“Saya mengerti perasaan anda sebagai orang tua, tetapi dia harus tahu, agar bisa menjaga diri sendiri. Saya yakin dia tidak akan syok. Apalagi ini sudah berlangsung selama dua tahun. Tidak mungkin dia tidak menyadari…”
Aya terdiam. Sifat Kaoru memang tenang dan dia tidak terlalu meledak-ledak seperti Akaru. Tetapi masa anak itu tidak pernah merasa terkejut? Mengetahui kenyataan bahwa hidupnya tak lama lagi, apakah dia akan hanya mengatakan ‘oh? Begitu? Kalau begitu aku harus lebih berhati-hati lagi’ dengan wajah kalem dan tersenyum sementara Aya akan berjengit melihatnya. Adegan itu terbayang-bayang di pikirannya selama dia berjalan kembali menuju kamar Kaoru.
Ketika dia memutar gagang pintu, ternyata pintunya terkunci.
“Kao-chan, jangan di sana!” Terdengar suara Akaru.
Lalu terdengar suara seseorang jatuh.
“Kaoru?! Kaoru, ada apa?! Buka pintunya, sekarang!”
Sudah tiga menit Aya menunggu di depan pintu dengan cemas. Akhirnya terbukalah pintu abu-abu itu. Akaru-lah yang membukanya. Dia tersenyum dan membuka pintu itu semakin lebar.
“Tidak usah cemas. Hanya aku yang jatuh dari sofa.”
Aya menyerbu masuk dan melihat Kaoru masih terbaring di tempat tidurnya. Matanya tampak lelah. Ada lingkaran hitam di bawahnya. Dia melambaikan tangannya dengan lemah dari tempat tidur.
“Ooka-san…”
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
Kaoru menggeleng lemah. Rambutnya tampak acak-acakan dan kelihatannya detak jantungnya sempat sedikit lebih cepat tiga menit yang lalu. “Tidak ada. Hanya kami sedikit ‘bermain’…” Dia menyeringai. Jari-jarinya bergerak-gerak seolah mendeskripsikan ‘permainan’ yang mereka mainkan selama Aya pergi ke ruang dokter.
“Benar, tidak usah khawatir. Kami tidak bermain yang berbahaya kok… sudah lama sekali sejak permainan terakhir kita, ya ‘kan, Kao? Kami hanya ingin bernostalgia sementara ooka-san pergi. Untuk mengisi waktu.” Jelas Akaru. Nada suaranya terdengar meyakinkan. Aya mendesah panjang. Dia terhenyak di sofa dan mulai tertidur.
“oke, sekarang biarkan aku tidur… aku capek… selamat malam…” lalu dia sudah tidur dengan lelap. Setidaknya, itulah yang terlihat oleh Akaru dan Kaoru. Lalu Akaru yang masih ada di dekat pintu berjalan ke tempat tidur Kaoru dan duduk di atasnya. Dia mengehembuskan nafas panjang.
“Apakah kira-kira ooka-san tahu?” tanya Kaoru.
Akaru menggeleng. “Aku rasa tidak.” Lalu dia bangkit dan berjalan ke sofa, menutupi ibunya dengan selimut. “Tetapi sebaiknya kita tidak ‘bermain’ di depannya seperti ini, walaupun dia sedang tidur.”
“Kakak benar…” kata Kaoru. Dia menghela nafas panjang. “Lebih baik aku tidur juga, ya?”
Akaru mengangguk. “Selamat malam.” Katanya dengan lembut lalu mematikan lampu.
“Ehm, anak-anak… Ada yang ingin kuberitahukan pada kalian…” kata Aya dengan gelisah di sofa.
Sudah lebih dari seminggu Kaoru dirawat di rumah sakit sementara dia sendiri tidak tahu sedang sakit apa. Sekarang tampaknya Aya akan mengungkapkan segalanya. Kaoru duduk tegak dan memasang telinga dengan baik di atas tempat tidurnya, sementara Akaru ada di sampingnya.
Aya terpana melihat pemandangan itu. mulutnya, yang semula ingin memberitahu penyakit Kaoru, malah diam setengah membuka.
“Ooka-san?”
“Ah, iya,” Aya kaget. “Sampai mana aku tadi?”
“… Pemberitahuan…”
Aya mendesah pelan. Haruskah dia memberitahu mereka tentang ini?
“Kao… kau tahu kenapa kamu dirawat di sini sangat… lama?” suaranya tercekat. Sementara Kaoru menggeleng lemah. Tangannya mencari-cari tangan Akaru, lalu menggenggamnya dengan erat di bawah selimut.
“Leukimia… stadium akhir…” suara Aya kini tak lebih dari sebuah bisikan. Dia menunduk, tak kuasa menahan air mata yang sudah terburu-buru berlarian ke pelupuk matanya. Hatinya bergetar, malah dia yang tidak bisa menerima kenyataan.
“Oh… Benarkah…?” ucap Kaoru tenang. Tetapi terlihat jelas dari caranya berbicara bahwa ia terkejut sekali. Antara pasrah dan tidak mau menerima. Akhirnya dia menangis juga. Untuk kali ini, dia menunjukkan sisi kelemahannya. Dia terdiam di pelukan Aya sambil menangis. Akaru hanya diam. Tangannya masih menggenggam tangan Kaoru.
“Tapi, Aya, stadium akhir…? Berarti harusnya Kaoru… Kaoru sudah lemah…! Tidak bisa terlalu banyak bergerak! Rambutnya akan mulai rontok! Tetapi lihatlah Kao sekarang! Apa… apa dia terlihat sakit…??” tukas Akaru.
“Aku tahu… Ini tidak wajar…” jawab Aya pelan.
“Pasti ada kekeliruan! Pasti! Ini tidak bisa dipercaya!! Ini…-“
“Sudahlah, Kak…” sela Kaoru.
Akaru memeluknya dan mereka berdua menangis sekali lagi.
“Kaoru,”
“Ya, kak?”
Akaru mendesah. “Sampai kapan kau mau terus memanggilku ‘kak’? Secara teknis aku ini bukan kakakmu yang sebenarnya…”
“Memang… Tetapi sebagai yang memegang peran uke, pasti lebih cocok kalau aku memanggilmu ‘kak’ daripada memanggil namamu sendiri, Akaru…” Kaoru tersenyum.
“Kau ini…”
“Apa mau kupanggil Aka-chan?”
“Nggak! Makasih deh!!”
Diam sejenak.
“Kak, ‘permainan’ kita ini… apakah akan terus berlanjut?”
“Tidak. Sampai kau benar-benar pulih, sampai kau benar-benar sehat…”
“Tapi, kak, aku ingin melakukannya sekali saja, sebelum kematianku…”
“JANGAN BERBICARA BEGITU!”
“…”
“Kau ini… jangan pesimis akan mati begitu saja…” Akaru merengkuhnya dalam pelukannya. Menghukumnya karena perkataan sembarangannya tersebut. “Aku… tidak akan melepaskanmu begitu saja… Makanya, kau jangan mati dulu…”
“Kenapa?”
“Apakah jalan terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah adalah mati?”
“Tidak…”
“Makanya…. Tunggu sampai waktuku tiba. Baru aku akan memperbolehkanmu meninggalkan dunia ini…”
***
Kaoru Heiwajima meninggal di kamar Akaru pada Minggu pagi, 1 Januari 2012, tepat setahun setelah pemberitahuan Aya di rumah sakit. Ketika Aya menemukannya terbaring di bawah selimut biru cerah milik Akaru, sedang melingkarkan tangannya pada leher Akaru, wajahnya terlihat… bahagia. Entah apa yang bisa mendeskripsikan keadaan wajahnya kala itu, tetapi yang paling mendekati adalah bahagia.
“Syukurlah kau bisa meninggal dengan tenang, Kao-chan…” bisiknya pagi itu. Aya entarh mengapa merasa bahagia dan tidak bisa menahan senyumnya. Tampaknya dia sedikit-sedikit tahu ‘permainan’ apa yang dilakukan mereka selama ini. Melihat beberapa kejadian yang sudah terjadi dan menilik bahwa Kaoru bukanlah adik Akaru yang sebenarnya.
Aya tersenyum sekali lagi, tetapi kini lebih memancarkan kesedihan.
“Aku senang, Kao… Tetapi aku tidak mengharapkan kau meninggalkanku juga, Akaru…”