Sering aku berpikir hal ini akan terjadi. Maka aku tidak terlalu kaget. Bahwa cinta itu memaksa, itu hukum alam. Bahwa apa saja bisa terjadi dan kamu memanglah begitu. Inilah kamu yang kukenal. Lagipula, jeruji ini bukan peghalang yang cukup berarti. Selama ini kita dipisahkan oleh dinding yang terlalu tebal. Sampai tak sekalipun aku merasa dekat denganmu, meski aku disisimu. Jadi ini justru sedikit membantu.
Aku hanya tidak habis pikir, jika sudah mengerti hal ini akan terjadi padamu, mengapa harus kamu yang kusukai. Atau mungkin karena ini terjadi padamu, maka kamu pantas kusukai? Mungkin jika bukan kamu, aku akan berlari mencari orang lain yang mengalami hal ini?
Entahlah. Aku seperti sama gilanya denganmu. Kamu seharusnya tahu ini tidak bisa disebut ringan. Tapi kamu seperti terlalu lugu untuk bisa memahami. Meski kamu bukan beban. Hanya sebuah tanggung jawab. Resiko karena dulu telah melihat air mata itu. Dan bukannya seperti aku yang tak acuh, aku malah mendadak bodoh dan ingin terlibat. Air mata itu menarikku untuk selalu datang. Guna-guna yang entah harus kusyukuri atau kusesali.
Sekiranya harus kusesali, hati ini tak mungkin berkompromi. Aku tak pernah punya rasa penyesalan untukmu. Bagiku itu awal yang baik. Itu awal dari masalah hidup yang kuanggap wajar – yang membahagiakan.
---
Langkahku terhenti.
Sekali lihat aku langsung tahu itu kamu. Kamu duduk meringkuk, memeluk diri sendiri. Semakin terlihat ruas tulang punggungmu yang menonjol. Lagi-lagi hujan tak punya pilihan selain menjadi saksi.
“Sesuatu terjadi?”
Kamu mendongak. Memperlihatkan mata sembab dan hidung yang memerah. Menggeleng lemah dengan senyum menyedihkan. Hujan ini pun menambah suasana melankolis yang kamu buat. Kondisi ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Ini rutinitas bagi kamu. Kalau sudah begini aku tak punya pilihan selain duduk di sampingmu, seakan-akan aku bisa menenangkanmu. Meski aku tidak pernah tahu apa bahu yang kamu buat sandaran itu menenangkan. Aku hanya berharap dibutuhkan. Meski kelihatannya tidak akan pernah.
Terhitung setahun kamu begini. Dan hari yang kamu lalui tanpa menangis bisa kuhitung tanpa memeras jaringan otakku. Ketika kamu menangis, aku selalu repot-repot melontarkan pertanyaan semacam “ada apa?”, “ada masalah?”atau “kamu sakit?” meski aku tahu jawabannya akan senada: “Baik-baik saja”, “tidak apa-apa” dan yang paling sering kuterima adalah gelengan.
Bohong jika aku tidak lelah. Meski akhirnya aku tidak bisa meninggalkanmu, malah tersenyum dan mengusap puncak kepalamu, memelukmu, membuatmu semakin menjadi dan menangis keras-keras. Lalu setelah puas, kamu akan menatap mataku lekat, dan tertawa geli. Mungkin geli karena sudah menangis tanpa sebab. Mungkin, jika kamu memang terlampau gila. Atau kadang kamu malah minta ditemani pulang tanpa terlihat terhibur. Begitu aku merasa gagal dan kepikiran. Lalu lega ketika melihat wajahmu kembali seperti biasa di pagi harinya.
Kamu aneh. Kuakui mereka benar. Tentang kamu yang tak mau berbicara kecuali ditanya, dan malah berbicara pada burung di taman sekolah. Tentang nilai kamu yang sempurna meski kamu asyik dengan buku sketsa sementara guru-guru mengajar. Dan tentu saja, tentang tangisanmu yang terlalu sering kulihat. Kamu aneh. Dan entah mengapa aku menganggap keanehan itu wajar jika terkait denganmu. Cocok, serasi, selaras.
---
Aku memang menyukai matamu. Seperti apapun kamu menatapku, aku selalu suka. Bahkan saat ini – saat kamu menatapku nanar dan kembali menjauhiku.
Ini sudah seminggu. Kamu masih memilih menangis sebagai aktivitasmu didalam sana. Berkali-kali isi piring itu diganti. Tak sekalipun kau sentuh tanpa paksaan. Sampai mereka tak punya pilihan selain memasukkan cairan infus ketubuhmu. Aku masih ingat bagaimana kamu ikut memunculkan ekspresi kesakitan saat aku terserang alergi dan butuh sedikit suntikan. Kamu tidak pernah suka hal itu. Tapi faktanya kamu yang mempersulit keadaan sehingga lebih memilihnya dibanding makanan pokokmu dulu.
Lalu aku bisa apa? Meski tahu kamu menyusahkan, meski sadar seberapa sering aku mendapat masalah karenamu, meski selalu berharap untuk bisa pergi, aku tidak pernah sanggup. Entah apa yang menahanku, tapi aku pun mengerti inilah cinta – yang kata orang telah buta.
---
Sore itu sudah direncanakan. Entah semburat macam apa yang menghiasi wajahku hingga beberapa menanyakan perasaanku. Aku bukannya sedang senang. Aku sedang merasa tertantang. Sampai-sampai hari itu aku merasa terlalu sering menghela nafas. Hari kelulusanku sudah lewat dua hari lalu, tapi ada yang salah. Ada yang kurang. Debaran ini lebih dari sekedar menunggu hasil seleksi perguruan tinggi yang saat ini pun sedang kamu tunggu.
Kamu malah sebaliknya. Tak ada ketegangan dalam raut wajahmu. Asyik dengan buku sketsa dan pensil. Sedang dikepalaku, seluruh saran dari orang terdekatku memuncak. Kotak dengan pita merah muda yang kubeli di toko buku kemarin sama mengesalkannya karena terus tergambar dipikiranku.
Kamu menatapku, tersenyum sambil bersiap berdiri, lalu menghampiriku.
“Selamat.” Katamu, mengambil tempat disebelahku hanya untuk memberikan ‘selamat’ yang harusnya didapatkan semua murid termasuk dirinya. Sebenarnya, ini bukan sesuatu yang bagus. Aku malah paranoid jangan-jangan kamu mendengar suara jantungku atau menyadari keringat di keningku. Meski aku akan membiarkan kamu tahu suatu waktu – yang aku rencanakan hari ini – tapi rasanya ini bukan waktu yang benar-benar tepat.
“Ah iya. Sama-sama.”
Sial. Kenyataannya tak akan pernah seperti itu. Kamu mana mungkin mendengar suara jantungku. Kamu mana mungkin sadar. Aku paham seberapa besar peran orang itu di otakmu. Bahkan mungkin telah menguasai hatimu. Aku seharusnya mengerti bukan? Dan sudah kulakukan.
“Ya?” kamu bersuara, tak berhenti menatapku. Kamu dengan luwesnya menampakkan senyum itu – yang malah membuatku tak puas. Selalu ingin melihatnya lagi, dan itu menyusahkan. Bergulat dengan diri sendiri membuatku sadar bahwa aku, tak ada bedanya denganmu. Tergila-gila.
Aku menatapnya. Bisa kurasakan betapa palsunya ekpresiku yang kali ini kubuat seheran mungkin. Canggung. Dan aku yakin kamu juga merasakannya.
“Saya merasa kamu mau mengatakan sesuatu.”
Tidak. Ini semakin tidak masuk akal. Kamu menuntutku mengatakan hal yang jelas-jelas tak mungkin kukatakan? Ini keterlaluan.
“Ya. Dan kamu sudah mengerti apa yang akan saya katakan.” dengan terbata-bata aku menjawab. Kamu malah melebarkan senyummu
“Tidak sebelum kamu mengatakannya.” Cepat dan lugas kamu menjawab. Membuat mataku melotot.
Kamu benar-benar sinting. Aku tahu kamu tahu seberapa sering aku menelan ludah sejak tadi. Aku paham kamu paham seberapa susah ini untukku. Aku mengerti kamu mengerti. Seharusnya sejak awal ini tak perlu terjadi, jika dia harus ada. Karena jalan pikiran kita terlalu sama dan sejajar. Seharusnya kita sadar bahwa kesamaan yang membuat kita tak akan bertemu.
“Suka.” Kata itu yang bisa terlontar dari mulutku. Kata yang mengganjal tenggorokanku sejak lama. Hanya kata itu bersama sekotak coklat yang telah kusiapkan – dihiasi pita merah muda. Dan kamu sudah lebih daripada mengerti.
“Ya, saya mengerti. Ayo kita coba”
Dan saat itu kupikir kita sudah resmi menjadi seorang remaja yang mengalami masa bahagia dalam hal percintaannya.
---
Aku memang menyukai matamu. Seperti apapun kamu menatapku, aku selalu suka. Bahkan saat ini – saat kamu menatapku nanar dan kembali menjauhiku.
Seperti yang kamu tahu, aku tak mungkin meninggalkanmu. Satu bulan bukan apa-apa bagiku jika dibandingkan tujuh tahun yang kita jalani bertiga. bertiga bersama dia. Seberapa pun kamu menyembunyikannya, aku tetap akan tahu. Matamu memberitahuku dengan jelas tanpa keraguan.
Jujur saja, aku membencinya. Seperti kamu yang membenci calon kakak iparmu sendiri – yang kamu anggap cintanya tak setulus cintamu. Padahal dia hanya rasional, berpikir jernih dan tak melewati batas. Bukannya dia tidak sedih, dia hanya berpikir harus tetap bahagia. Tak seperti kamu.
Aku pun sama saja. Pemikiran bawa kamu akan berubah menjadi manusia bahagia masih segar di kepalaku. Aku masih berharap sebelum tak bisa lagi. Meski kamu tak pernah punya maksud untuk mengabulkan harapanku. Aku masih berharap.
Dan aku yakin dia tentu punya harapan yang sama. Aku harus mengakui bahwa dalam hal ini dia – meski kubenci – tak bersalah. Kamu dan aku adalah yang bersalah, dan dengan sadar telah menyakiti. Maka berhentilah menunggu yang tak pasti. Menunggunya.
---
Suatu pagi saat di rumahmu. Setelah berbincang dengan orang tuamu, kamu mengajakku melempar remah roti ke dalam kolam yang berisi dua ikan kecil – yang kamu bilang baru dibeli dua minggu lalu setelah ikan sebelumnya dimakan kucing tetangga. Setelah memarut roti di dapur, kita berjalan ke halaman belakang. Tak menghiraukan bau tanah yang menyeruak di hidung.
Gerimis turun membentuk permata-permata kecil di rambutmu. Tiap kali ikan itu berebut, kamu tertawa-tawa seperti ikan itu patut ditertawakan, sambil berkata “Lucu ya?” dan aku hanya tersenyum. Tidak pusing-pusing memikirkan sisi yang lucu dari ikan-ikan itu.
Lalu tawamu nyaris hilang ketika kamu menoleh ke arah pintu dapur. Saat kamu bertemu pandang dengan seorang wanita yang menggenggam gelas dan botol air minum darilemari es. Kalian sama-sama tersenyum. Bedanya senyummu jelas-jelas canggung dan palsu. Dan tanpa saling menyapa dengan suara, dia pergi membawa dua benda tadi kembali ke ruang tamu. Kamu diam beberapa saat, seperti tak menyadari pandanganku yang tak sedikit pun luput dari matamu. Begitu sadar, kamu malah melebarkan senyum dan menjelaskan. “Dia pacar kakak saya. Sebentar lagi akan menikah.”
Aku mengangguk-angguk, dan mengambil remahan roti dari kantung yang kamu bawa. “Apa yang salah dengannya?” Aku sedikit memastikan, meski aku sudah mengetahui alur cerita ini.
Kamu menatapku lekat-lekat di lima detik pertama, mencoba mencerna. Lalu senyum itu kembali ada. Bagi pujangga sepertimu ini hanya kiasan basa-basi yang terlalu mudah dipahami.
“Kamu memang yang paling mengerti saya. Saya jadi tidak bisa berbohong.” Senyum itu mereda. Lama-lama lenyap, habis sama sekali.
“Tidak hanya saya, semua orang akan mengerti setelah melihat yang barusan. Senyum itu terlalu jelas.” Aku melempar remahan itu. Membayangkan kembali wajah wanita dengan lesung pipit yang ketahuan saat ia tersenyum tadi. Wajahnya cerah, matanya bulat, senyumnya tulus, melunakkan. Aku banyak menemukan sisi indah yang tak perlu dipertanyakan mengapa sampai kakakmu bisa suka. Dia patut disukai. Kamu pun paham.
Kamu malah tertawa setelah mendengarku. Tawa yang sama palsunya dengan senyum yang barusan. “Benarkah? Apa saya sebegitu mudahnya ditebak?” sambil terus tertawa.
Lama tak mendengar jawabanku, kamu berhenti tertawa. Menatap ke arahku yang masih sibuk meladeni kerakusan ikan-ikanmu. Dari jarak sedekat ini, aku cukup peka untuk menyadari bahwa kamu memperhatikanku. Aku balik menatap, lalu tersenyum. Lagi-lagi kepalsuan. Bahasa seperti ini terlalu sering kita gunakan. Aku tahu kamu tak terlalu suka bahkan tak mau berbicara. Maka matamu kadang berisyarat, yang lama-kelamaan kumengerti dan mulai terbiasa. Enam tahun cukup lama bagiku untuk mengerti. Kamu tetap tak mau memberi tahu apa adanya dengan mulutmu sendiri, meski jelas di matamu.
“Dia orang baik. Cantik pula. Tapi bagaimanapun dia belum cukup mengenal kakak saya. Itu menurut sudut pandang saya. Hanya itu yang salah. Tapi saya yakin lama kelamaan pasti saya akan merelakan kakak saya.” Kamu memberi alasan tanpa di minta. “sudahlah. Saya tidak suka ketegangan seperti ini.”
Kamu tidak bisa berbohong padaku.
Kamu sendiri yang bilang, bahwa aku paling mengerti kamu. Maka aku mengerti arti tatapanmu ketika melihat kakakmu sendiri. Tatapan yang berbeda dengan saat melihatku. Berharap.
Ada yang salah denganmu, dengan matamu, perkataanmu. Bukan dengan wanita itu atau kakakmu. Dan aku jadi sadar, mengapa selama ini aku harus selalu menenangkanmu saat kamu menangis tanpa sebab.
---
Aku memang menyukai matamu. Seperti apapun kamu menatapku, aku selalu suka. Bahkan saat ini – saat kamu menatapku nanar dan kembali menjauhiku.
“sebaiknya kamu pergi. Nanti kamu seperti dia.”
Kamu berkata susah payah. Aku tahu bukan kata-kata yang manis seperti dulu, tapi aku tetap suka. Kamu mau berbicara adalah sesuatu yang melegakan, sampai mataku membulat. Tak mungkin aku malah membencimu setelah kamu mau mengeluarkan suara – semenyakitkan apapun maknanya. Meski aku tak tahu mengapa aku akan berakhir seperti dia jika aku disini.
Setiap kali aku kemari, selalu ada sesuatu yang memicuku untuk cepat sampai. Selalu ada sesuatu yang membuatku beranggapan bahwa kamu adalah hal genting yang harus cepat diselesaikan. Seperti kamu akan lenyap jika satu milisekon saja aku terlambat. Seperti dia.
“tidak apa-apa kalau saya memang harus berakhir seperti dia. Asalkan jangan kamu.”
Ekspresimu tidak berubah. Tatapanmu tetap sama. Satu tahun sudah kamu disini. Satu tahun pula mata itu tak mengeluarkan airnya. Dan ini kali pertama aku mendengar suaramu setelah kejadian itu. Melegakan. Benar, kata itu butuh penegasan berulang-ulang. Aku benar-benar sedang senang kali ini. Cukup dengan kamu berbicara.
Aku tak berharap kamu kembali seperti dulu. Karena kamu menganggap dia adalah bagian dari dirimu. Dan ketika bagian itu telah hilang, bagaimana bisa aku meminta agar kamu tetap utuh? Hal itu sesuatu yang gila. Sama gilanya seperti kamu yang memintaku melepaskanmu.
“aku menyukainya.”
Kamu mempertegas, mengingkari perjanjian kita mengenai kata ‘saya’. Kamu mempertegas, seperti aku tidak pernah melihat air mata itu. Seperti aku tak bisa melihat perubahan ekspresi yang selalu terjadi pada wajahmu. Seperti aku buta dan menganggap dia hanyalah sekelebat bayangan hitam di otakmu. Bukan cahaya emas yang membuatku ciut bahkan hilang.
“saya tahu.”
Aku tahu. Aku tahu.
---
Malam itu pertama kalinya malam berbintang, setelah selama seminggu hujan turun tanpa ampun. Telepon selulerku berdering, memunculkan namamu. Keningku berkeringat hanya untuk menjawabnya.
“Halo?”
Yang kudengar bukan suaramu.
Saat keluar dari taxi, aku bisa melihatmu sedang duduk di halaman, bersama lampu-lampu taman yang memperjelas lingkar hitam dibawah matamu. Pandangan kosong itu sering kulihat. Biasanya dihiasi air mata, kali ini kering sama sekali. Kamu memang benci bau obat. Itu kesimpulan yang kuambil ketika kita membolos ke ruang kesehatan, dan akhirnya berpindah ke perpustakaan karena kamu mengeluh tentang bau obat. Mungkin karena itu kamu tak mau masuk ke dalam. Atau kamu tak mau memastikan keadaan, lalu menerima kenyataan.
Kamu hanya tersenyum ketika aku menghampirimu dan mengagetkanmu dengan menyebut namamu. Kupikir aku yang terlalu berlebihan, sampai aku menyebrang mencari taxi tanpa jaket setelah telepon dari calon kakak iparmu ditutup. Kupikir hanya aku yang berpikir bahwa kamu akan menangis meronta-ronta, membanting apa yang ada di hadapanmu. Kupikir aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan hingga berpikir bahwa kehadiranku benar-benar dibutuhkan olehmu. Tapi semuanya berakhir lebih parah dari itu.
“Kamu tidak apa-apa?” Aku menanyakan pertanyaan yang retoris, yang membuatmu menjawab dengan spontan.
“Bagaimana mungkin tidak apa-apa.”
Benar. Ketika dia tak lagi bisa kamu lihat, mana mungkin tidak apa-apa.
“Kamu tahu? Dia telah pergi, lebih jauh daripada sekedar menikah. Dia pergi terlalu jauh.”
Benar. Dia pergi. Kamu tak mungkin tertawa lagi. Meski aku disini, disampingmu. Tapi dia telah pergi kan?
Keberadaanku disini pun tak akan membantu apa-apa. Kamu cukup hanya dengannya, tak perlu aku. Kamu tak butuh aku sama sekali. Ada banyak hal untuk menyembunyikan air mata itu. Tidak hanya bahuku. Seharusya aku tahu itu sejak awal. Bahkan dia yang berada jauh akan lebih kamu ingat daripada aku yang disisimu. Aku hanya orang yang membutuhkanmu, tapi tak kau butuhkan. Seharusnya aku sadar sejak dulu.
Esoknya kamu tak berhenti meronta. Dan sejak itu jeruji kuat memisahkan kita. Kupikir tak akan apa-apa selama aku bersabar. Ternyata dalam hal ini, aku adalah orang yang tak boleh bersabar.
---
Aku memang menyukai matamu. Seperti apapun kamu menatapku, aku selalu suka. Bahkan saat ini – saat kamu menatapku nanar dan kembali menjauhiku.
Seperti biasanya, semua terlalu hening. Suara jarum jam yang bergerak tiap detiknya memenuhi ruangan. Kamu baru saja bangun dari tidurmu, dengan rambut yang tak pernah kamu sisir rapi seperti dulu. Mimpi apa yang kamu lihat? Siapa yang ada didalamnya? Bagaimana akhirnya?
Bukan tentangku.
Kamu langsung menatapku malas. Aku tahu sebabnya karena aku bukan dia. Kamu sudah bosan melihat wajahku yang selama dua tahun terakhir muncul dibalik jeruji ini. Tersenyum aneh, prihatin terhadap keadaanmu. Kacamataku sering basah terhadap perlakuanmu. Tapi kini tak lagi. Tak boleh lagi.
Karena ketika aku datang kesini nanti, aku tak akan sendiri. Mungkin kamu tidak akan peduli tentang ini, tapi ragaku tak akan sesering dulu kemari. Bukannya melepasmu, aku tak mungkin bisa.
Kenyataannya aku tak mau berakhir sepertimu. Aku punya hak untuk lebih bahagia, meski saat ini bagiku kamu bahagia itu. Sama sepertimu, aku juga ingin dicintai. Dua tahun sudah aku lupa rasanya dicintai, meski sebenarnya sejak sembilan tahun kita bersama, tak sedikit pun kamu mencintaiku. Aku ingin hidup normal, dibahagiakan dan membahagiakan. Aku ingin hidup jelas, fokus pada bahagia yang pasti.
Mungkin ini juga resiko itu. Meninggalkanmu. Tapi tenang saja. Sembilan tahun itu tak akan kemana-mana. Menjaganya adalah yang terakhir yang akan kulakukan. Hidupku saat ini akan menjadi hidup tanpa kamu. Tapi aku menjamin bahwa aku akan tetap hidup bersama kenangan tentangmu.
Mungkin saat aku masuk ke rumah sakit, aku akan ingat kamu yang menutup hidungmu. Saat aku mulai mengajar dan melihat ke bangku paling pojok yang selalu kamu pilih, aku akan ingat kamu. Dan kembali lagi yang dulu-dulu. Kembali pada saat kita masih bisa tersenyum dan berbohong, saat aku masih bisa memaafkan dan dibodohi. Lalu mungkin aku akan menelan ludah, untuk menandakan bahwa aku sudah seharusnya berada pada aku yang sekarang. Tanpa kamu. Dan bersama mereka. Karena aku memilih bahagia, kamu memilih gila.
Dan kuharap kamu selalu ingat, bahwa aku selalu menyukai matamu, bahasamu.