Kutarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Aku mencoba menenangkan diri. Tetapi sepertinya batinku terlalu terguncang. Langit-langit putih itu terasa tentram dan damai. Aku bersandar di dinding dengan kepala menghadap ke atas. Maukah aku hidup seperti itu, tentram dan damai? Ah, tidak. Bukan 'maukah', tetapi bisakah?
Putih itu suci, begitu katanya padaku.
Aku memejamkan mata dan menutup muka dengan kedua tanganku. Setelah ini apa yang bisa aku lakukan?
"Sedang apa kamu disini? Jangan mengotori bajumu! Sudah hampir jam sepuluh, ayo bersiap-siap,"
Aku membuka mata, memandang wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku dengan wajah cantiknya yang selalu tersenyum untukku. Aku hanya meringis kecil memandangnya.
"Ibu tahu kau sangat terpukul, tetapi ini mungkin adalah jalan hidupnya. Mungkin ini rencana terbaik Tuhan untuknya."
"Aku mengerti." kataku pelan.
"Jangan pernah melawan takdir, ingat itu."
Aku hanya diam ketika mengikutinya masuk ke mobil. Pikiranku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa terjawab. Kenapa harus dia? Kenapa harus sekarang? Apakah ini salahku? Aku tak habis pikir. Mungkin saja. Andai aku tidak memaksanya untuk menjemputku waktu itu, andai aku tetap pulang sendiri seperti biasa.
Andai aku bisa memutarbalikkan waktu.
Aku masih mengingat dengan jelas ekspresi terakhirnya. Masih ada, masih menempel dengan kuat di ingatanku. Memori yang kelak akan menghantuiku setiap hari.
Dia memandangku. Dia memandangku dengan pandangan mata yang tak pernah ia berikan padaku sebelumnya. Di dalam pandangan itu tergambar berbagai macam emosi. Bahagia dan sedih. Berani dan takut. Gembira dan gelisah. Lalu di sana ada aku. Ada pantulan wajahku yang ngeri melihatnya.
Sial, sial, sial! Kenapa tidak aku saja? Dia masih punya masa depan yang panjang! Seharusnya aku yang berada di posisinya saat ini, bukan dia!
"Kita sudah sampai,"
Aku keluar dari mobil dengan penuh keengganan. Dari sini saja sudah terlihat kerumunan orang-orang yang pagi ini sedang berduka cita. Perutku mual.
"Ibu, bisakah aku tinggal di sini saja? Aku merasa tidak enak badan,"
"Tidak bisa. Ibu tahu kamu sedang tidak stabil. Ibu tidak bisa membiarkanmu berbuat macam-macam sendirian. Bisa-bisa kau bunuh diri nanti," ia menarik tanganku dan mulai berjalan pelan ke arah kerumunan itu. Aku sangat menghargai ibuku ini. Ia selalu ada untukku dan selalu mendukung apapun yang kulakukan.
Aku berusaha mengendalikan emosiku. Kulirik jam tanganku. Masih kurang sepuluh menit lagi. Kulihat ada banyak orang yang kukenal. Mereka mengenakan warna yang senada dengan bajuku. Ketika aku dan ibuku mendekat, semua mata tertuju ke arah kami. Aku tidak suka diperhatikan seperti ini.
Salah satu sahabatku mendekati kami.
"Aku turut berduka cita, ya. Dia adalah teman yang baik. Aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Kamu yang tabah, ya." katanya pelan sehingga tidak banyak yang mendengar perkatannya.
"Terima kasih. Tetapi aku bukan orang yang tepat untuk ucapan itu. Lebih baik kau mendatangi ibunya," kataku datar.
Ia agak terkejut dengan perkataanku. Masa bodohlah. Aku benar-benar tidak ingin berada di tempat ini. Perutku semakin mual.
Acaranya dimulai. Serangkaian kata-kata dari seorang laki-laki tua berpakaian putih menjadi pembuka. Aku tidak ambil pusing untuk mendengarkan apa yang ia katakan, karena kini kepalaku terasa seperti berputar. Aku berjalan menjauhi kerumunan, menuju tempat teduh yang bisa kugunakan untuk duduk dan menghilangkan rasa pusingku. Ibu menoleh ke arahku dengan cemas, tetapi aku menenangkannya dengan mengisyaratkan bahwa aku takkan pergi jauh-jauh.
Langitnya berputar, tanahnya berputar. Sekuat apapun aku memaksa mereka untuk berhenti, putarannya malah semakin cepat. Aku terjatuh, mencengkeram tanah, memaksanya untuk berhenti. Aku mendengar suara-suara dari acara itu terhenti. Ada langkah-langkah gelisah yang berlari ke arahku.
"Berhenti! Aku tidak apa-apa! Aku hanya terpeleset, aku hanya terpeleset, rumput-rumputnya licin, aku hanya terpeleset...-"
Langkah-langkahnya terhenti. Lalu aku punya sebuah ide gila untuk meneriaki tanah ini agar berhenti berputar dan menghilangkan rasa pusing di kepalaku ini. Sungguh. Lama-kelamaan kepalaku seperti akan pecah saja.
Lalu aku berteriak. Aku benar-benar meneriaki tanahnya agar berhenti. Namun semakin keras aku berteriak, tanahnya berputar semakin cepat. Aku tak mau kalah. Aku mengerahkan seluruh tenagaku yang tersisa untuk berteriak pada tanah. Tidak kuhiraukan suara-suara yang mulai ribut di sampingku. Aku harus menghentikan putaran ini secepatnya. Tak kupedulikan rasa perih di kerongkongan. Rahangku mulai meneteskan sesuatu. Terdengar pekikan ngeri ketika aku membatukkan sesuatu ke tanah.
Aku terus berteriak, dan berteriak, dan berteriak...
February, 1st 2014
It's already ten o'clock! Let's singing and dancing!