Aku mulai memperhatikan seluruh isi kelas. Aku memandang mereka semua dengan perasaan galau. Keadaan berjalan seperti biasa, dan aku benci keadaan seperti ini. Aku jadi… TERASING. Di tengah-tengah sekian banyak anak —mungkin ada sekitar 30— aku seperti alien yang terjebak macet. Bisa kukatakan semuanya punya kesibukan masing-masing. Entah itu berguna atau tidak. Yang jelas, sekarang aku akan menghargai pekerjaan paling tidak berguna di dunia karena menyebarnya virus ‘kebosanan tingkat akut’ di sekelilingku, memagariku seperti daerah terlarang. Dan untung saja, sebuah headset menyelip diantara barang-barang tak berguna yang kubawa.
Aku ada di kelas 8-2. Sedang apa? Menunggu temanku yang masih melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari. Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan di seluruh jagat raya. Sebenarnya aku takkan bosan bila sahabatku yang sedang duduk persis di sebelahku ini mengajakku bicara atau apalah, memperhatikanku mungkin? Dia sedang sibuk bersama temannya yang lain —membicarakan soal drummer yang akan membantu mereka membentuk sebuah band— dan aku dilupakan begitu saja. Oke, kataku pada diri sendiri. Saat ini aku tidak membutuhkannya.
Sekolah adalah tempat yang menyenangkan, walaupun kau harus menghadapi beberapa anak yang ingin menceburkan kepalamu ke toilet. Aku cukup suka dengan sekolahku yang baru. Karena halamannya yang luas dan fasilitas yang sangat memadai. Perpustakaan yang selalu sepi pengunjung telah menjadi hunian tetapku, aman dan damai bebas dari gangguan-gangguan sekelompok anak angkuh dan sombong. Aku ingin ke perpustakaan, tetapi kalau sudah masuk ke kelas ini tidak bisa keluar lagi sampai semua anak yang melakukan kegiatan rutinnya itu selesai. Sekarang aku terjebak rayuan sahabatku untuk ikut ke sini. Sialan.
Hitunglah berapa kali kau diacuhkan olehnya! Teriakku pada diri sendiri. Hitunglah berapa kali kau bersembunyi darinya! Hitunglah berapa kali kau tidak sambung dengan perkataannya! Dan di antara argumen-argumen di pikiranku itu, seorang anak menjerit lalu pingsan di hadapanku.
Aku kenal anak yang pingsan itu. Namanya Kelley Clavinson. Dia sekelas dengan sahabatku. Karena sifatnya yang sok, dia terkenal di kalangan kakak kelas yang membencinya. Entah kenapa aku tidak merasakan hasrat ingin menolong anak ini, yang sedang terkapar di kakiku ini.
Mendengar ada yang menjerit, seisi kelas menjadi panik. Hanya aku saja yang tenang. Perlahan, aku membalikkan tubuh Kelley. Hampir tidak ada yang memperhatikanku karena semua anak sibuk dengan dugaannya sendiri-sendiri. Tangan Kelley menggenggam sesuatu, setelah kubuka dengan paksa, ternyata yang digenggamnya adalah segumpal kertas yang sudah lecek. Isinya: “Mati kau”.
Kuputuskan dengan cepat bahwa Kelley mungkin menjerit melihat kata-kata ini dan mungkin terlalu shock sampai pingsan segala. Sejenak aku ingin tertawa. Melihat kenyataan bahwa Kelley sering mengatakan dia tidak takut apapun. Sekarang, hanya dua kata saja dampaknya begitu besar.
“Haruskah kupanggil petugas UKS?” tanya Charlotte yang mengintip dari balik bahuku. Aku mengangguk singkat dan dia berlari keluar kelas tanpa mempedulikan perkataan banyak anak yang melarangnya keluar.
Aku cukup senang Charlotte masih mengingatku, akibatnya aku tak mendengar apa yang dikatakan Lettice Frau —anak yang mendiskusikan soal drummer dengan Lotti— kemudian sampai dia mengguncang bahuku. Aku terkesiap.
“Kenapa Kelley?”
Wajahnya yang menyebalkan beradu pandang denganku. Aku malas membalasnya, untung saja petugas UKS segera datang. Selamat!
Selama beberapa saat aku sibuk merobek-robek sayap kupu-kupu yang kutemukan kemarin siang, tepat setelah Kelley pingsan, dan begitu Kelley sudah diambil alih oleh petugas UKS, aku langsung angkat kaki dari kelas itu. Tak peduli apa kata teman-temanku yang berusaha menghalangi. Sayapnya yang rapuh saat ini sudah hancur sepenuhnya, kerangka badannya yang masih utuh kuremukkan tanpa belas kasihan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang namanya makhluk hidup.
“Alice?”
Aku otomatis menoleh mendengar namaku disebutkan, ternyata Esther Lea-Lotta. Anak ini cukup dekat denganku, kujadikan pelarian jika Charlotte mengacuhkanku lagi. Sekarang dia berdiri di belakangku. Memandangi kepala kupu-kupu yang masih utuh. Satu-satunya yang masih tersisa dari kerangka hewan kecil itu.
“Ngapain kamu?Kasihan ‘kan?” tanyanya, lalu duduk di sampingku. Dia tidak bersama Jeane, jarang sekali Esther sendirian seperti ini.
Aku mulai mencopoti bagian belalainya. “Biar saja. Kan sudah mati,” kataku cuek. Tampaknya Esther tidak kaget mendengar perkataanku.
“Wah, kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi gelap begitu?”
“Nggak apa-apa kok. Kamu terlalu ‘jauh’ pikiannya!” kataku tertawa. Esther tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Dia menatap jauh pada pintu-pintu kelas yang sudah terkunci.
“Apa reaksimu kalau misalnya Charlotte hilang?” tanyanya tiba-tiba. Aku bingung.
“Aku? Ya jelas panik dong. Sahabat sendiri kok dicuekin. Iya kalau Kelley yang hilang aku nggak akan peduli. Lagipula, kenapa kamu menanyakan itu?” pasti ada sesuatu, aku yakin. Kalau Esther sudah berkata seperti itu, berarti ada sesuatu terselubung.
Tetapi Esther hanya menggeleng. “Hanya bertanya,” jawabnya singkat.
Aku mendengus dan mulai meremukkan kepala kupu-kupu itu. Langsung hancur begitu saja. Setelah tidak ada satu bagianpun yang tersisa, aku mulai mencari-cari kegiatan lain untuk menumpuk perasaanku yang tidak karuan.
Akhirnya aku menjerit.
Esther tidak kaget sedikitpun, aku heran. Rupanya dia tahu aku akan menjerit. Dan yang lebih aneh lagi, tidak ada seorangpun yang datang untuk melihat. Rupanya mereka tahu kalau itu hanyalah jeritan putus asa.
“Alice, bagaimana kalau Charlotte hilang?” tanyanya sekali lagi.
Jawabanku tetap sama.
“Baik,” ujarnya seraya bangkit. “Aku pergi dulu. Selamat tinggal.”
Lalu dia berlari meninggalkanku begitu saja.
Keesokan harinya, Charlotte tidak masuk. Begitupun hari-hari setelahnya. Hampir seminggu dia tidak masuk. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan kata-kata Esther dua minggu yang lalu benar? Bahwa Charlotte hilang? Ah, itu konyol. Tak mungkin benar seperti itu. Mungkin ada salah satu kerabatnya yang meninggal atau apa.
Tetapi perkiraan itu segera hilang karena telepon dari ibu Lotti yang menelponku suatu malam. Dia mengira Charlotte menginap di rumahku tanpa sepengetahuannya.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya, Alice.” Lalu sambungan terputus.
Dia benar-benar hilang. Lenyap entah kemana. Lalu tiba-tiba aku memiliki gagasan yang aneh sekali. Kalau Esther tahu Lotti akan hilang, mestinya dia tahu dimana Lotti sekarang, begitu pikirku. Ketika aku berjalan ke kelasnya, sebuah ide aneh muncul begitu saja. Bagaimana kalau Esther-lah yang menculiknya?
“Lea-Lotta ada?”
Semua anak di kelas 7-5 menoleh ke arahku. Esther ada di pojok ruangan, memandangku dengan berseri-seri.
“Alice!” serunya lalu berlari menghampiriku. “Hai, ada apa?”
Aku menjawabnya dengan setengah hati, “Hai. Bisa kita keluar sebentar?”
Kami turun. Menyusuri lorong yang menuju perpustakaan, lalu terus ke halaman belakang. Kakiku yang membawa kami ke sana, aku sama sekali tidak punya bayangan akan bicara di halaman belakang. Aku tak menggubris protes Esther tentang jarak yang terlalu jauh, kami terus saja berjalan hingga akhirnya sampai di suatu tempat yang kurasa bukan salah satu tempat di sekolah. Kami sudah keluar dari wilayah sekolah tanpa kami sadari.
“Alice! Kau mau apa sebenarnya?” tanya Esther dengan ketus.
“Kau,” aku berkata dingin. “kau apakan Charlotte?”
Mendadak Esther tertawa. “Kamu tanya aku tentang dia? Dia?” teriaknya disela-sela tawanya yang terus menerus. “Dia? Yang sudah mengacuhkanmu disaat kamu butuh dia? Kenapa harus kau cari orang seperti itu?! Kenapa masih saja kau temani?! Kenapa?! Ha ha ha!” sekarang dia tersandung kerikil. Tetap saja tertawa.
“Apa masalahmu dengannya?” tanyaku datar.
Esther masih saja sibuk dengan tertawanya. Aku tak sabar lagi, akhirnya tanganku melayang ke pipinya. “Jawab aku!”
Esther balik menatapku dengan tatapan dingin. “Kau mau aku menjawabmu?” tanyanya. Aku mengangguk kaku. “Baiklah, apa yang harus kujawab?”
“Apa masalahmu dengannya?”
Esther mendengus. “MasalahKU? Belum tahu rupanya. Dia merebutMU untuk menjadi sahabatKU! Itu alasan yang cukup bagus bukan?”
Sekarang giliranku untuk tertawa. “Apa? Perkara sekecil itu?”
Esther terduduk di tanah selama beberapa lama. Dia merogoh sesuatu di kantong rok sekolahnya yang panjang. Tampaknya dia kesulitan mengambilnya. Akhirnya sesuatu itu diletakkan di telapak tangannya dan menunjukkannya padaku.
“Apa ini?” tanyanya sambil terseyum.
Cukup lama juga aku memperhatikannya. Sebuah benda kecil, seperti kontak lens —atau memang kontak lens?— berwarna abu-abu gelap bernoda darah. Seperti membaca pikiranku, Esther menyahut, “Ini memang kontak lens. Masalahnya, kontak lens siapakah ini?” Lalu dia mengeluarkan benda yang lain lagi. Sebuahbookmark bergambarkan Hikaru —salah satu tokoh komik buatan Charlotte— dan saat itulah aku menyadari kalau kontak lens itu memang milik Charlotte. Bernoda darah.
“Kau apakan dia?!” Amarahku bangkit kembali. Esther mulai tertawa lagi dan tanganku lagi-lagi melayang ke pipinya. Kali ini meninggalkan segores luka yang tak terlalu dalam, namun sudah cukup untuk membuat anak seperti Kelley menjerit kesakitan. Tetapi lain halnya dengan Esther.
Dia anak yang keras kepala, namun berhati baik. Karena itulah aku heran sekali kenapa psikologisnya bisa berubah 180 derajat dari aslinya. Goresan yang kubuat dengan sengaja di pipi putihnya yang mulus itu tidak cukup untuk membuatnya menangis, bersimpuh dan mengakui semua perbuatannya. Harus ada lebih banyak goresan-goresan dalam.
Bunuh saja dia! Teriak sebuah suara di kepalaku. Dia membuat sahabatmu satu-satunya menderita, tidak ada salahnya dia menerima ganjarannya darimu! Kata suara itu. Memprovokasi otakku agar tidak berjalan dengan benar. Kau membawa sebuah benda tajam, ya ‘kan? Cukup tajam untuk menembus otak belakangnya, tentu saja sebuah alat yang takkan diduga polisi manapun!
“Alice? Kau tahu benda-benda ini milik siapa?” tanya Esther.
Aku mengacuhkannya. Aku masih sibuk dengan argumen-argumen mengerikan di benakku. Ayo, lakukan saja! Dorong suara aneh itu. Aku tidak bisa, pikiran ‘lurus’ku menjawab. Dialah tempat saat Charlotte tidak ada. Masih banyak yang lain, kata suara aneh itu gusar. Masih ada Jeanne, Erika, Lettice, atau bahkan kalau kau mau, Kelley! Mereka semua masih lebih baik daripada seorang pembunuh yang sedang terduduk di depanmu saat ini!
“Esth, dari mana kau mendapatkan keduanya?” tanyaku. Berusaha mengabaikan teriakan-teriakan di dalam kepalaku. Tetapi ternyata tidak bisa.
“Dari orangnya sendiri. Aku mengambilnya dengan paksa, tentu saja. Kau tahu ‘kan, semua barang yang kuinginkan, pasti ‘dia’ memilikinya. Kalau begitu, kenapa saat ‘dia’ sudah tidak ada, barangnya tidak kuambil? Sayang ‘kan?” Esther menyeringai. Aku terkesiap.
“Dia… sudah tidak ada?” suaraku hanya sekeras bisikan angin.
Lalu —entah bagaimana, aku tidak tahu— Esther sudah terbaring bersimbah darah di depanku.
Aku ada di kelas 8-2. Sedang apa? Menunggu temanku yang masih melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari. Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan di seluruh jagat raya. Sebenarnya aku takkan bosan bila sahabatku yang sedang duduk persis di sebelahku ini mengajakku bicara atau apalah, memperhatikanku mungkin? Dia sedang sibuk bersama temannya yang lain —membicarakan soal drummer yang akan membantu mereka membentuk sebuah band— dan aku dilupakan begitu saja. Oke, kataku pada diri sendiri. Saat ini aku tidak membutuhkannya.
Sekolah adalah tempat yang menyenangkan, walaupun kau harus menghadapi beberapa anak yang ingin menceburkan kepalamu ke toilet. Aku cukup suka dengan sekolahku yang baru. Karena halamannya yang luas dan fasilitas yang sangat memadai. Perpustakaan yang selalu sepi pengunjung telah menjadi hunian tetapku, aman dan damai bebas dari gangguan-gangguan sekelompok anak angkuh dan sombong. Aku ingin ke perpustakaan, tetapi kalau sudah masuk ke kelas ini tidak bisa keluar lagi sampai semua anak yang melakukan kegiatan rutinnya itu selesai. Sekarang aku terjebak rayuan sahabatku untuk ikut ke sini. Sialan.
Hitunglah berapa kali kau diacuhkan olehnya! Teriakku pada diri sendiri. Hitunglah berapa kali kau bersembunyi darinya! Hitunglah berapa kali kau tidak sambung dengan perkataannya! Dan di antara argumen-argumen di pikiranku itu, seorang anak menjerit lalu pingsan di hadapanku.
Aku kenal anak yang pingsan itu. Namanya Kelley Clavinson. Dia sekelas dengan sahabatku. Karena sifatnya yang sok, dia terkenal di kalangan kakak kelas yang membencinya. Entah kenapa aku tidak merasakan hasrat ingin menolong anak ini, yang sedang terkapar di kakiku ini.
Mendengar ada yang menjerit, seisi kelas menjadi panik. Hanya aku saja yang tenang. Perlahan, aku membalikkan tubuh Kelley. Hampir tidak ada yang memperhatikanku karena semua anak sibuk dengan dugaannya sendiri-sendiri. Tangan Kelley menggenggam sesuatu, setelah kubuka dengan paksa, ternyata yang digenggamnya adalah segumpal kertas yang sudah lecek. Isinya: “Mati kau”.
Kuputuskan dengan cepat bahwa Kelley mungkin menjerit melihat kata-kata ini dan mungkin terlalu shock sampai pingsan segala. Sejenak aku ingin tertawa. Melihat kenyataan bahwa Kelley sering mengatakan dia tidak takut apapun. Sekarang, hanya dua kata saja dampaknya begitu besar.
“Haruskah kupanggil petugas UKS?” tanya Charlotte yang mengintip dari balik bahuku. Aku mengangguk singkat dan dia berlari keluar kelas tanpa mempedulikan perkataan banyak anak yang melarangnya keluar.
Aku cukup senang Charlotte masih mengingatku, akibatnya aku tak mendengar apa yang dikatakan Lettice Frau —anak yang mendiskusikan soal drummer dengan Lotti— kemudian sampai dia mengguncang bahuku. Aku terkesiap.
“Kenapa Kelley?”
Wajahnya yang menyebalkan beradu pandang denganku. Aku malas membalasnya, untung saja petugas UKS segera datang. Selamat!
Selama beberapa saat aku sibuk merobek-robek sayap kupu-kupu yang kutemukan kemarin siang, tepat setelah Kelley pingsan, dan begitu Kelley sudah diambil alih oleh petugas UKS, aku langsung angkat kaki dari kelas itu. Tak peduli apa kata teman-temanku yang berusaha menghalangi. Sayapnya yang rapuh saat ini sudah hancur sepenuhnya, kerangka badannya yang masih utuh kuremukkan tanpa belas kasihan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang namanya makhluk hidup.
“Alice?”
Aku otomatis menoleh mendengar namaku disebutkan, ternyata Esther Lea-Lotta. Anak ini cukup dekat denganku, kujadikan pelarian jika Charlotte mengacuhkanku lagi. Sekarang dia berdiri di belakangku. Memandangi kepala kupu-kupu yang masih utuh. Satu-satunya yang masih tersisa dari kerangka hewan kecil itu.
“Ngapain kamu?Kasihan ‘kan?” tanyanya, lalu duduk di sampingku. Dia tidak bersama Jeane, jarang sekali Esther sendirian seperti ini.
Aku mulai mencopoti bagian belalainya. “Biar saja. Kan sudah mati,” kataku cuek. Tampaknya Esther tidak kaget mendengar perkataanku.
“Wah, kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi gelap begitu?”
“Nggak apa-apa kok. Kamu terlalu ‘jauh’ pikiannya!” kataku tertawa. Esther tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Dia menatap jauh pada pintu-pintu kelas yang sudah terkunci.
“Apa reaksimu kalau misalnya Charlotte hilang?” tanyanya tiba-tiba. Aku bingung.
“Aku? Ya jelas panik dong. Sahabat sendiri kok dicuekin. Iya kalau Kelley yang hilang aku nggak akan peduli. Lagipula, kenapa kamu menanyakan itu?” pasti ada sesuatu, aku yakin. Kalau Esther sudah berkata seperti itu, berarti ada sesuatu terselubung.
Tetapi Esther hanya menggeleng. “Hanya bertanya,” jawabnya singkat.
Aku mendengus dan mulai meremukkan kepala kupu-kupu itu. Langsung hancur begitu saja. Setelah tidak ada satu bagianpun yang tersisa, aku mulai mencari-cari kegiatan lain untuk menumpuk perasaanku yang tidak karuan.
Akhirnya aku menjerit.
Esther tidak kaget sedikitpun, aku heran. Rupanya dia tahu aku akan menjerit. Dan yang lebih aneh lagi, tidak ada seorangpun yang datang untuk melihat. Rupanya mereka tahu kalau itu hanyalah jeritan putus asa.
“Alice, bagaimana kalau Charlotte hilang?” tanyanya sekali lagi.
Jawabanku tetap sama.
“Baik,” ujarnya seraya bangkit. “Aku pergi dulu. Selamat tinggal.”
Lalu dia berlari meninggalkanku begitu saja.
Keesokan harinya, Charlotte tidak masuk. Begitupun hari-hari setelahnya. Hampir seminggu dia tidak masuk. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan kata-kata Esther dua minggu yang lalu benar? Bahwa Charlotte hilang? Ah, itu konyol. Tak mungkin benar seperti itu. Mungkin ada salah satu kerabatnya yang meninggal atau apa.
Tetapi perkiraan itu segera hilang karena telepon dari ibu Lotti yang menelponku suatu malam. Dia mengira Charlotte menginap di rumahku tanpa sepengetahuannya.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih ya, Alice.” Lalu sambungan terputus.
Dia benar-benar hilang. Lenyap entah kemana. Lalu tiba-tiba aku memiliki gagasan yang aneh sekali. Kalau Esther tahu Lotti akan hilang, mestinya dia tahu dimana Lotti sekarang, begitu pikirku. Ketika aku berjalan ke kelasnya, sebuah ide aneh muncul begitu saja. Bagaimana kalau Esther-lah yang menculiknya?
“Lea-Lotta ada?”
Semua anak di kelas 7-5 menoleh ke arahku. Esther ada di pojok ruangan, memandangku dengan berseri-seri.
“Alice!” serunya lalu berlari menghampiriku. “Hai, ada apa?”
Aku menjawabnya dengan setengah hati, “Hai. Bisa kita keluar sebentar?”
Kami turun. Menyusuri lorong yang menuju perpustakaan, lalu terus ke halaman belakang. Kakiku yang membawa kami ke sana, aku sama sekali tidak punya bayangan akan bicara di halaman belakang. Aku tak menggubris protes Esther tentang jarak yang terlalu jauh, kami terus saja berjalan hingga akhirnya sampai di suatu tempat yang kurasa bukan salah satu tempat di sekolah. Kami sudah keluar dari wilayah sekolah tanpa kami sadari.
“Alice! Kau mau apa sebenarnya?” tanya Esther dengan ketus.
“Kau,” aku berkata dingin. “kau apakan Charlotte?”
Mendadak Esther tertawa. “Kamu tanya aku tentang dia? Dia?” teriaknya disela-sela tawanya yang terus menerus. “Dia? Yang sudah mengacuhkanmu disaat kamu butuh dia? Kenapa harus kau cari orang seperti itu?! Kenapa masih saja kau temani?! Kenapa?! Ha ha ha!” sekarang dia tersandung kerikil. Tetap saja tertawa.
“Apa masalahmu dengannya?” tanyaku datar.
Esther masih saja sibuk dengan tertawanya. Aku tak sabar lagi, akhirnya tanganku melayang ke pipinya. “Jawab aku!”
Esther balik menatapku dengan tatapan dingin. “Kau mau aku menjawabmu?” tanyanya. Aku mengangguk kaku. “Baiklah, apa yang harus kujawab?”
“Apa masalahmu dengannya?”
Esther mendengus. “MasalahKU? Belum tahu rupanya. Dia merebutMU untuk menjadi sahabatKU! Itu alasan yang cukup bagus bukan?”
Sekarang giliranku untuk tertawa. “Apa? Perkara sekecil itu?”
Esther terduduk di tanah selama beberapa lama. Dia merogoh sesuatu di kantong rok sekolahnya yang panjang. Tampaknya dia kesulitan mengambilnya. Akhirnya sesuatu itu diletakkan di telapak tangannya dan menunjukkannya padaku.
“Apa ini?” tanyanya sambil terseyum.
Cukup lama juga aku memperhatikannya. Sebuah benda kecil, seperti kontak lens —atau memang kontak lens?— berwarna abu-abu gelap bernoda darah. Seperti membaca pikiranku, Esther menyahut, “Ini memang kontak lens. Masalahnya, kontak lens siapakah ini?” Lalu dia mengeluarkan benda yang lain lagi. Sebuahbookmark bergambarkan Hikaru —salah satu tokoh komik buatan Charlotte— dan saat itulah aku menyadari kalau kontak lens itu memang milik Charlotte. Bernoda darah.
“Kau apakan dia?!” Amarahku bangkit kembali. Esther mulai tertawa lagi dan tanganku lagi-lagi melayang ke pipinya. Kali ini meninggalkan segores luka yang tak terlalu dalam, namun sudah cukup untuk membuat anak seperti Kelley menjerit kesakitan. Tetapi lain halnya dengan Esther.
Dia anak yang keras kepala, namun berhati baik. Karena itulah aku heran sekali kenapa psikologisnya bisa berubah 180 derajat dari aslinya. Goresan yang kubuat dengan sengaja di pipi putihnya yang mulus itu tidak cukup untuk membuatnya menangis, bersimpuh dan mengakui semua perbuatannya. Harus ada lebih banyak goresan-goresan dalam.
Bunuh saja dia! Teriak sebuah suara di kepalaku. Dia membuat sahabatmu satu-satunya menderita, tidak ada salahnya dia menerima ganjarannya darimu! Kata suara itu. Memprovokasi otakku agar tidak berjalan dengan benar. Kau membawa sebuah benda tajam, ya ‘kan? Cukup tajam untuk menembus otak belakangnya, tentu saja sebuah alat yang takkan diduga polisi manapun!
“Alice? Kau tahu benda-benda ini milik siapa?” tanya Esther.
Aku mengacuhkannya. Aku masih sibuk dengan argumen-argumen mengerikan di benakku. Ayo, lakukan saja! Dorong suara aneh itu. Aku tidak bisa, pikiran ‘lurus’ku menjawab. Dialah tempat saat Charlotte tidak ada. Masih banyak yang lain, kata suara aneh itu gusar. Masih ada Jeanne, Erika, Lettice, atau bahkan kalau kau mau, Kelley! Mereka semua masih lebih baik daripada seorang pembunuh yang sedang terduduk di depanmu saat ini!
“Esth, dari mana kau mendapatkan keduanya?” tanyaku. Berusaha mengabaikan teriakan-teriakan di dalam kepalaku. Tetapi ternyata tidak bisa.
“Dari orangnya sendiri. Aku mengambilnya dengan paksa, tentu saja. Kau tahu ‘kan, semua barang yang kuinginkan, pasti ‘dia’ memilikinya. Kalau begitu, kenapa saat ‘dia’ sudah tidak ada, barangnya tidak kuambil? Sayang ‘kan?” Esther menyeringai. Aku terkesiap.
“Dia… sudah tidak ada?” suaraku hanya sekeras bisikan angin.
Lalu —entah bagaimana, aku tidak tahu— Esther sudah terbaring bersimbah darah di depanku.