Aku ingin memeluknya sekali lagi, mengisi kekosongan di hatiku yang tidak kunjung terisi. Kehangatan ketika aku memeluknya adalah perasaan yang selama ini kurindukan, yang selama ini kucari. Aku ingin terus bersandar padanya hingga hari berakhir tetapi orang-orang akan curiga.
Aku menghargai setiap kata yang diucapkannya ketika menghiburku saat aku menangis. Dia memberiku pelukannya seperti biasa, dan aku bisa tenang karenanya. Aku ini seperti anak kecil saja ya.
“Sudahlah, jangan menangis terus. Ada aku di sini…”
Sudah tidak ada lagi yang kuperlukan. Persetan dengan semuanya yang mengaku sebagai sahabatku tetapi ternyata membenciku di belakang. Bodoh sekali aku mempercayai mereka seperti itu. Mereka hanya baik di depan. Menyapaku hanya untuk menaikkan nilai sosialisasi saja. Sama sekali tidak benar-benar dari dalam. Hanya Souki saja yang begitu.
Saat itu kami sedang ada di kamar Souki, duduk di lantai yang lumayan basah karena air mataku, sementara sang empunya kamar ada di sampingku, tidak bisa bergerak kemana-mana karena aku menggenggam tangannya dengan erat. Tangannya yang lain membelai rambutku dengan hati-hati.
“Sou-chan, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa…”
Souki menarikku lebih mendekat. “Tidak ada yang perlu kau lakukan.”
“Hah?”
“Jadilah seperti yang kau ingini. Bukankah ibumu selalu mengatakan hal itu?”
Ibuku, sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan sementara ayahku sudah hilang entah kemana. Alhasil aku tinggal dengan Souki sekarang, yang tinggal sendirian karena memang orang tuanya tinggal di kota lain. Jadi aku bebas tinggal di rumahnya. Dan itu mempermudahku untuk mengendalikan diri. Jika aku disakiti lagi, aku akan berlari ke kamarnya dan menangis sepuas-puasnya di sana. Entah Souki ada atau tidak. Aku senang dengan wangi tubuhnya. Souki pasti selalu menemukanku tertidur di lantai dekat tempat tidurnya, sedang memegang selimut putihnya. Kalau sudah seperti itu dia pasti akan membangunkanku dan menyuruhku tidur di kamarku sendiri.
Souki, entah berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyadari bahwa aku menyukainya. Dua tahun? Selama itu? Wah, perasaanku pasti tidak peka sekali. Harusnya aku menyadari, ketika dia ada study tour keluar kota, aku sudah merindukannya menemaniku makan malam. Sepanjang malam aku hanya menghabiskan waktu untuk menelponnya, menghabiskan baterai handphonenya. Kala itu, teman-teman ‘surface’ku mengetahui acara tour itu dan sekali lagi menyakitiku. Polanya seperti biasa. Ketika pulang aku langsung melepas sepatu dan berlari ke kamar Souki. Wanginya membuatku tenang dan semakin membuatku ingin bertemu.
Tapi saat itu dia datang. Saat itu Souki pasti datang. Sekarang? Aku tidak tahu harus menunggunya datang dari mana. Frekuensi menangisku saat ini lebih sering dari ketika teman-teman ‘surface’ itu menyakitiku. Sou-chan... Aku tidak dapat membayangkan keadaannya saat ini. Kenapa dia harus meninggalkanku? Apakah aku berbuat sesuatu yang salah? Meninggalkanku dengan sepotong kecil surat di meja, harusnya dia menungguku bangun, atau membangunkanku! Apakah aku sudah terlalu lama tinggal dengannya? Apakah dia terganggu?
~~~
“Kara, kau sudah tahu beritanya?”
Aku menoleh. Ternyata Yuka, salah satu teman ‘surface’ku. Aku merinding ketika dia mendekatiku.
“Be…rita?”
“Megurine Souki menghilang ‘kan?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Yuka mendesah. “Aku punya banyak sumber-sumber terpercaya. Benar ‘kan?”
Dengan terpaksa aku mengangguk. Aku sudah tidak peduli lagi, entah dia mau menarik rambutku lagi, entah dia mau membawaku ke toilet lagi, aku tidak mau tahu. Senyum kecil terpasang di wajah Yuka.
“Aku punya informasi terbaru tentang dia.”
Otomatis aku menoleh padanya dengan pandangan berharap. Pulang-kah dia?
“Informasi?”
Yuka tertawa. “Ternyata benar… Kau tahu? Megurine Souki telah meninggal.”
~~~
Souki… Souki… Kenapa meninggalkanku secepat itu? Aku belum mengungkapkan perasaanku padamu, aku bahkan belum berterima kasih padamu atas segala kehangatan dan perhatian yang kau beri selama ini. Atas segala cinta yang kau ajarkan padaku, atas segalanya.
Lagipula, kenapa harus dia? Yang memberiku cahaya, yang memberiku alas an untuk hidup. Kenapa tidak aku saja yang mati duluan? Dunia benar-benar aneh.
Sudahlah, kataku pada diri sendiri. Jika masih ingin bersamanya, hilanglah…
Aku menghargai setiap kata yang diucapkannya ketika menghiburku saat aku menangis. Dia memberiku pelukannya seperti biasa, dan aku bisa tenang karenanya. Aku ini seperti anak kecil saja ya.
“Sudahlah, jangan menangis terus. Ada aku di sini…”
Sudah tidak ada lagi yang kuperlukan. Persetan dengan semuanya yang mengaku sebagai sahabatku tetapi ternyata membenciku di belakang. Bodoh sekali aku mempercayai mereka seperti itu. Mereka hanya baik di depan. Menyapaku hanya untuk menaikkan nilai sosialisasi saja. Sama sekali tidak benar-benar dari dalam. Hanya Souki saja yang begitu.
Saat itu kami sedang ada di kamar Souki, duduk di lantai yang lumayan basah karena air mataku, sementara sang empunya kamar ada di sampingku, tidak bisa bergerak kemana-mana karena aku menggenggam tangannya dengan erat. Tangannya yang lain membelai rambutku dengan hati-hati.
“Sou-chan, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa…”
Souki menarikku lebih mendekat. “Tidak ada yang perlu kau lakukan.”
“Hah?”
“Jadilah seperti yang kau ingini. Bukankah ibumu selalu mengatakan hal itu?”
Ibuku, sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan sementara ayahku sudah hilang entah kemana. Alhasil aku tinggal dengan Souki sekarang, yang tinggal sendirian karena memang orang tuanya tinggal di kota lain. Jadi aku bebas tinggal di rumahnya. Dan itu mempermudahku untuk mengendalikan diri. Jika aku disakiti lagi, aku akan berlari ke kamarnya dan menangis sepuas-puasnya di sana. Entah Souki ada atau tidak. Aku senang dengan wangi tubuhnya. Souki pasti selalu menemukanku tertidur di lantai dekat tempat tidurnya, sedang memegang selimut putihnya. Kalau sudah seperti itu dia pasti akan membangunkanku dan menyuruhku tidur di kamarku sendiri.
Souki, entah berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyadari bahwa aku menyukainya. Dua tahun? Selama itu? Wah, perasaanku pasti tidak peka sekali. Harusnya aku menyadari, ketika dia ada study tour keluar kota, aku sudah merindukannya menemaniku makan malam. Sepanjang malam aku hanya menghabiskan waktu untuk menelponnya, menghabiskan baterai handphonenya. Kala itu, teman-teman ‘surface’ku mengetahui acara tour itu dan sekali lagi menyakitiku. Polanya seperti biasa. Ketika pulang aku langsung melepas sepatu dan berlari ke kamar Souki. Wanginya membuatku tenang dan semakin membuatku ingin bertemu.
Tapi saat itu dia datang. Saat itu Souki pasti datang. Sekarang? Aku tidak tahu harus menunggunya datang dari mana. Frekuensi menangisku saat ini lebih sering dari ketika teman-teman ‘surface’ itu menyakitiku. Sou-chan... Aku tidak dapat membayangkan keadaannya saat ini. Kenapa dia harus meninggalkanku? Apakah aku berbuat sesuatu yang salah? Meninggalkanku dengan sepotong kecil surat di meja, harusnya dia menungguku bangun, atau membangunkanku! Apakah aku sudah terlalu lama tinggal dengannya? Apakah dia terganggu?
~~~
“Kara, kau sudah tahu beritanya?”
Aku menoleh. Ternyata Yuka, salah satu teman ‘surface’ku. Aku merinding ketika dia mendekatiku.
“Be…rita?”
“Megurine Souki menghilang ‘kan?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Yuka mendesah. “Aku punya banyak sumber-sumber terpercaya. Benar ‘kan?”
Dengan terpaksa aku mengangguk. Aku sudah tidak peduli lagi, entah dia mau menarik rambutku lagi, entah dia mau membawaku ke toilet lagi, aku tidak mau tahu. Senyum kecil terpasang di wajah Yuka.
“Aku punya informasi terbaru tentang dia.”
Otomatis aku menoleh padanya dengan pandangan berharap. Pulang-kah dia?
“Informasi?”
Yuka tertawa. “Ternyata benar… Kau tahu? Megurine Souki telah meninggal.”
~~~
Souki… Souki… Kenapa meninggalkanku secepat itu? Aku belum mengungkapkan perasaanku padamu, aku bahkan belum berterima kasih padamu atas segala kehangatan dan perhatian yang kau beri selama ini. Atas segala cinta yang kau ajarkan padaku, atas segalanya.
Lagipula, kenapa harus dia? Yang memberiku cahaya, yang memberiku alas an untuk hidup. Kenapa tidak aku saja yang mati duluan? Dunia benar-benar aneh.
Sudahlah, kataku pada diri sendiri. Jika masih ingin bersamanya, hilanglah…