Benar-benar keadaan yang kacau. Sekarang Jessica terjebak di sebuah kesunyian yang tak jelas kapan berakhirnya, sendirian, tanpa teman. Baru kali ini dia merasa kecewa atas undangan teman-temannya yang memintanya datang ke suatu farewell party. Jessica tahu Kath akan pindah dan teman-teman sekelasnya mengadakan pesta perpisahan untuk melengkapi kenang-kenangan Kath akan mereka. Tetapi, ada apa ini? Rencana awalnya, panitia pelaksanaan datang sepuluh menit lebih awal dari yang dijanjikan –halaman belakang sekolah– untuk melihat apakah semua perlengkapannya baik-baik saja. Jessica adalah satu dari lima panitia yang ditunjuk ketua kelas, dan sekarang kemana perginya keempat temannya itu?
Sudah lebih dari dua puluh menit Jessica menunggu, akhirnya dia beranjak dari tempatnya menunggu dan mulai berjalan pulang dengan perasaan kecewa. Apakah teman-temannya mempermainkannya? Apakah Kath tidak benar-benar pindah? Apakah hanya keisengan semata? Jessica tidak habis pikir. Sepanjang perjalanan pulang, dia mengutuki satu-satu semua teman-temannya.
“Lho, Sica. Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya ibunya ketika Jessica masuk dengan tergesa-gesa.
“Tidak apa-apa, ibu. Hanya sedih saja memikirkan Kath pergi.” Jawab Jessica berbohong.
Semula tampaknya ibu Jessica sangsi dengan pernyataan putrinya itu. Tetapi dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “’kan bisa kirim surat atau e-mail?”
Jessica bersikap seolah itu adalah ide yang bagus dan bergegas naik ke kamarnya di lantai dua. Dia berganti baju dan cepat-cepat menelpon Abby, salah satu panitia pesta perpisahan Kath.
Ketika telepon di seberang terangkat, Jessica langsung membentak si penerima.
“Bagaimana sih, kamu itu?!”
Untungnya, si penerima adalah Abby sendiri sehingga Jessica tidak malu kalau saja yang mengangkat adalah ayah Abby. Yang dibentak kaget, dan langsung memutus sambungan. Menyadari sikapnya yang tidak baik, Jessica menelponnya kembali dengan nada baik-baik.
“Hai, ini Abby?”
Kali ini Abby tidak kaget. “Iya, ini Jessica?”
“Kok tahu?”
“Terdengar dari suaramu yang khas,” kata Abby setengah geli. “Ada apa telepon siang-siang begini?”
Jessica menarik nafas dalam-dalam agar suaranya terdengar biasa. “Kamu masih ingat rencana farewell party kita? Tentang Kath?”
Abby diam sebentar. Jessica menunggu dengan tidak sabar. Akhirnya Abby menjawab juga. “Kath?”
“Iya. Rencana kita, aku, kamu, Bella, Rue dan Stephanie . Masa sudah lupa?”
“Aku tidak ingat ada teman kita yang bernama Kath. Kalaupun ada, pasti kakak kelas yang aku tidak kenal.”
Jessica kaget setengah mati mendengarnya. Kalau ibunya ingat ada yang bernama Kath, pasti yang lain juga ingat ‘kan?
“Apa kau yakin?”
“Yakin, seribu persen. Tidak ada satupun yang bernama Kath. Lagipula, kalau kau mau mendiskusikan soal ‘Kath’ ini, aku sekarang tidak ada waktu. Sebentar lagi aku harus…–“
BRAK.
Jessica membanting gagang telepon. Mana bisa Abby melupakan gadis tinggi nan cantik yang telah menjadi sahabatnya sejak dulu itu? Kebaikan hatinya tidak terlupakan, kepintarannyapun juga begitu. Tetapi baru saja Abby mengatakan tidak kenal siapapun yang bernama ‘Kath?’
Tujuan Jessica selanjutnya adalah Bella. Jangan sampai anak ini melupakan Kath yang pernah menyelamatkannya dari bahaya, geramnya. Dia sudah mulai menekan nomor ponsel Bella.
Tunggu, pikir Jessica di tengah nada tunggu. Jangan terlalu terbakar emosi dulu, Sica.
“Hai, Sica.” Bella menjawab.
“Hai juga, Bella. Kamu ada di mana?” kata Jessica, berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang.
“Tentu saja aku ada di rumah! Ada apa? Mau main ke rumahku?”
“Bukan. Aku hanya ingin tanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kamu ingat rencana kita? Kath?” kata Jessica dengan hati-hati.
Nada suara Bella selanjutnya terdengar aneh. “Ada apa dengan Kath?”
Akhirnya ada yang ingat tentang Kath! Sorak Jessica dalam hati. “Bukankah kita merencanakan tentang farewell party untuknya? Siang ini? Di halaman belakang sekolah?”
“Sica, kamu terkena amnesia atau apa? Bukannya Kath… Kau yang…” Bella tercekat di ujung sana. Sunyi sebentar.
“Sudahlah. Kau membuatku dapat mimpi buruk lagi. Bye, Sica.”
Lalu Bella memutuskan hubungan.
Jessica sekali lagi heran. Apakah dia benar-benar terkena amnesia? Harusnya Abby yang begitu, karena dia sama sekali tidak mengingat apapun. Seharian ini benar-benar aneh. Sebelum menelpon yang lain, Jessica turun ke bawah untuk meyakinkan kenyataan sekali lagi.
Dia bertanya pada ibunya sekali lagi dan bahkan ibunya tahu tentang Kath. Jessica benar-benar pusing akhirnya dia memutuskan untuk tidur siang sebentar dan berharap ketika dia bangun dunia sudah berjalan dengan benar kembali.
“Sica? Sudah bangun?”
Ibu Jessica mengetuk pintu kamar dengan hati-hati. Jessica yang sudah terjaga agak lama itu berjalan membuka pintu. Ternyata ibunya tidak sendirian. Dia bersama Stephanie, saudara jauh Kath.
“Hai Sica, maaf mengganggu tidur siangmu,” kata Stephanie salah tingkah.
“Tidak kok, aku senang kamu datang.” Jawab Jessica sambil tersenyum. “Ayo masuk kamarku.”
“Kutinggal dulu, ya. Selamat bersenang-senang.” Kata Ibu Jessica.
Sepeninggal beliau, Stephanie langsung kembali ke sifat aslinya. Dia duduk serampangan di tempat tidur Jessica yang masih berantakan. “Sica, aku benar-benar khawatir.”
“Soal apa?” tanya Jessica. Dia duduk di lantai kamarnya dan mendengarkan. Hatinya berdebar-debar. Mungkin saja yang akan dibicarakan adalah soal Kath. Ternyata bukan. Stephanie hanya membicarakan soal pacarnya. Jessica sampai bosan mendengarnya.
“Nah,” katanya akhirnya. Setelah mendapat ruang berbicara saat Stephanie mengambil nafas setelah berbicara sepuluh menit tanpa jeda sedikitpun. “Bagaimana kabar Kath?”
Raut wajah Stephanie yang semula kesal menjadi terkejut bercampur takut. “Apa maksudmu dengan ‘kabar’?”
Karena sudah tak tahan lagi, Jessica akhirnya meledak. “Kau juga! Kenapa semuanya melupakan Kath?! Ada apa dengannya? Apa ada yang salah dengannya? Atau denganku?”
Stephanie terpana melihatnya marah. “Sica, kamu sudah melupakannya?”
“Melupakan apa?”
“Kecelakaan beberapa tahun yang lalu, kecelakaan karena…” Stephanie menarik nafas. “Karenamu.”
Jessica diam saja.
“Kamu benar-benar tidak ingat? Kath yang terjatuh dari lantai tiga sekolah kita hanya karenamu yang lupa membawa buku matematika! Hanya karena dia yang tersandung tali sepatunya sendiri dalam perjalanan mengantarkan bukumu, lalu terjatuh dan terlempar keluar jendela di lantai tiga? Lantai tiga sekolah kita, Sica. Tidak ingatkah kau?”
Sekarang Jessica tercekat.
Sudah lebih dari tiga bulan sejak kejadian itu. Jessica sudah melupakan semuanya. Dua hari setelah dia tahu kenyataan yang sebenarnya, Jessica terbaring lemah di rumah sakit karena kondisinya drop. Nilai-nilainya turun drastis, kondisi kejiwaannya tidak stabil. Pikirannya terganggu karena kenyataan pahit itu. Ibunya khawatir dan membawanya ke rumah sakit untuk mendiagnosa keanehan putrinya itu. Lalu tiga hari setelah dia dibawa ke rumah sakit, Jessica koma tanpa sebab.
“Sica,”
Jessica tidak menengok ke belakang. Ibunya mendekatinya yang sedang asyik memandang langit malam yang kelam. Dia membawa dua gelas cokelat panas lalu diberikannya satu pada Jessica. Putrinya menyambutnya dengan senang. “Terima kasih,”
“Kembali,” jawab ibunya.
Mereka menyeruput isi gelas masing-masing. Jessica kembali memandangi langit malam. Bintang-bintang berpendar menerangi sebagian kecil dari angkasa, sementara bagian lainnya mendung tertutup awan. Tampaknya akan ada hujan sebentar lagi.
Jessica duduk di kursi kayu yang berada di sampingnya dan menghembuskan nafas. Ini baru seminggu dari kesadarannya setelah koma. Jessica memaksa ibunya untuk membiarkannya pulang ke rumahnya sendiri, bukan mendekam di rumah sakit. Sebenarnya dokter tidak mengizinkannya pulang, tetapi Jessica terlihat sedikit aneh saat memaksa dokter untuk memulangkannya.
“Malam ini indah, ya?” Kata ibu Jessica pelan. Lawan bicaranya hanya diam. Jessica tahu, ini adalah permulaan dari sesuatu yang akan dibicarakan secara serius oleh mereka berdua.
“Tidak usah begitu, katakan saja apa yang mau ibu bicarakan,”
Ibunya tersenyum. “Terima kasih, Sica. Kau membuat ini lebih mudah.”
“. . .”
“Baiklah. Apa kau ingat semua kenanganmu dengan Kath?”
Jessica tersentak. “Ada apa dengan Kath?”
Ibunya menghela nafas dan berjalan ke arah pinggiran beranda. Bintangnya sudah tertutupi awan. “Tidak… aku hanya ingin tahu.”
Jessica diam saja. Dia tidak ingin mengenang kembali saat bersama Kath. Perasaan bersalah itu langsung muncul begitu dia membayangkan wajah Kath. Sica tidak ingin perasaan itu menghantui hari-harinya kemudian nilai-nilainya turun kembali.
“Aku… lumayan ingat. Sedikit-sedikit. Ada apa?”
“Tidak… hanya penasaran. Apakah dia teman baikmu?”
“Dialah satu-satunya orang yang mengetahui perceraian ibu dengan ayah,” kata Jessica. Suaranya perlahan menghilang. Ibunya, yang sebenarnya kaget sekali, diam saja.
“Untuk apa kau menceritakannya pada Kath?”
Jessica menggeleng. Dia tidak bermaksud menceritakannya pada Kath dulu. Dia hanya keceplosan. Tetapi sedetik kemudian dia sadar itu adalah masalah pribadinya sendiri. Seharusnya tidak ada orang yang tahu. Jessica langsung merasa bersalah telah kelepasan bicara.
“Ibu, aku…-“
“Iya, kau tidak sengaja bicara ‘kan? Sudahlah, tidak usah merasa bersalah.”
Jessica meringis lalu melanjutkan ceritanya tentang Kath. Sudah beberapa saat berlalu ketika Sica selesai bicara. Ibunya berpura-pura menguap dan berkata ingin pergi tidur. Jessica mengucapkan selamat malam padanya dan melanjutkan merenung di beranda.
Kejadian-kejadian tentang Kath berkelebat dalam pikirannya. Ingatannya berkurang sejak sadar dari koma. Lama-lama ingatannya hilang. Dia sudah tidak ingat nama lengkap Kath sekarang. Dia hanya ingat sekelebatan dari kejadian jatuhnya Kath dari lantai tiga sekolah. Dia sedang membawakan buku matematika miliknya untuk Jessica yang lupa membawa. Kemudian, Jessica menemuinya di depan kelasnya di lantai tiga… lalu seingatnya Kath sudah berada di bawah, di lapangan basket sekolah dengan genangan darah dan dikerumuni oleh anak-anak yang panik. Kemudian Jessica langsung cepat-cepat turun dan terpeleset di tangga…
Bukan, bukan seperti itu kejadiannya. Jessica berani bertaruh kejadiannya bukan seperti itu. Tidak ada kejadian terpeleset di tangga, dan harusnya ada kejadian yang terjadi sebelum Kath tergeletak di bawah sana. Harusnya ada… ada, tetapi entah kenapa Jessica tidak dapat mengingatnya. Seakan ada yang memodifikasi ingatannya…
Ah, apakah Jessica-lah yang mendorongnya? Apakah dirinya sendiri yang mendorong Kath? Stephanie bilang kecelakaan itu terjadi karenanya… bukan, karena tersandung tali sepatunya sendiri… Bukan!! Ada yang mendorong Kath, sepanjang ingatan Sica, harusnyaada yang mendorong Kath… Dirinya sendiri-kah…? Atau orang lain…?
***
Jessica Skimmer meninggal karena jatuh dari atap rumahnya sendiri. Ditemukan jam tiga pagi waktu setempat oleh ibunya sendiri yang langsung histeris. Seluruh warga kompleks perumahan itu geger pagi itu, mengerubungi rumah berwarna putih gading itu. Seluruh kompleks itu mengenal Jessica. Rambut panjang pirangnya sudah terkenal hingga kemana-mana.
Penyebab jatuhnya Jessica tidak diketahui hingga seminggu kedepan. Tim yang ada menolak untuk menyerah. Mereka mengunjungi kediaman Mrs. Skimmer setiap hari, menyisir bagian atap yang sudah diteliti paling sedikit lima kali, dan berusaha menemukan sesuatu yang berarti. Sampai saat ini asumsi masyarakat adalah murni kecelakaan. Terpeleset lumut atau sejenisnya lalu jatuh. Tetapi tim investigasi kepolisian yang terlalu tertarik pada kasus ini menolak mentah-mentah asumsi itu. Mereka percaya ada sesuatu yang menyebabkan Jessica Skimmer terjatuh dari atap, karena tidak ada teriakan minta tolong atau bekas-bekas lumut terinjak dan terlepas dari tempatnya semula. Bahkan, tidak ada lumut.
Semua yang mengenal Jessica di sekolah menyangkut-pautkan peristiwa ini dengan peristiwa jatuhnya Kath. Hampir seluruh anak di sekolah percaya bahwa Jessica-lah yang mendorong Kath. Entah dari mana gosip itu beredar, tetapi anggapan mereka sudah pasti seperti itu.
“Sudah jelas dialah yang mendorongnya, banyak saksi mata yang menyaksikan, bahkan ada beberapa yang mendapat mimpi buruk karena hal itu,” jelas Luna Nightee, teman sekelas Jessica yang diminta kesaksiannya oleh tim investigasi. Berita ini sudah masuk ke majalah sekolah, menjadi topik pembicaraan paling hangat saat ini. Bella tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini. Dia dan Stephanie sering mendiskusikan hal ini bersama. Dengan Abby dan Rue juga. Abby tidak mau mengingat, setidaknya berpura-pura bahwa kejadian itu tidak pernah terjadi. Dia sekarang merasa bersalah pada Jessica. Dia mengatakan ‘tidak mengenal Kath’, padahal dia hanya menghindari Sica mengungkit-ungkit hal itu.
Mereka mendiskusikan hal yang sama berkali-kali, tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi di siang hari yang terik itu. Semuanya memiliki kronologis yang berbeda. Stephanie dan Abby berdebat dengan penyebab jatuhnya Kath. Seharusnya dia tersandung tali sepatunya sendiri, menurut Stephanie.
“Tidak. Memang benar Jessica-lah yang mendorong Kath. Aku lihat sendiri.” Omel Abby. “Karena itulah aku tidak mau mengingat kejadian itu!”
“Tidak! Masa temannya sendiri mendorong Kath? Aku tidak percaya sedikitpun. Kau bukan teman sekelas Jessica,” Tukas Stephanie. “Kau sekelas dengan Kath!”
“Jessica memiliki semacam kelakuan aneh…” kata Bella menyela mereka. “Kau tahu, dia pernah mengatakan kalau dia mengidap skizofrenia…”
“Apa itu?”
“Aku tidak tahu secara spesifik… Yang jelas ada hubungannya dengan khayalan, halusinasi dan sebagainya…”
“Jadi dia berhalusinasi tentang,” Rue menghembuskan nafas sejenak. “Kath?”
“Mungkin,” kata Bella datar.
“Ini menjadi semakin rumit saja…” desah Abby. “Sebaiknya aku pulang sebelum ibuku semakin khawatir denganku.”
Lalu yang lain-lainnya mengikutinya pulang.
Tim investigasi mengalami kemajuan seminggu setelahnya. Mereka mengobrak-abrik isi kamar Jessica, dibawah izin ibunya, dan mereka menemukan sebuah buku harian. Sebelumnya mereka juga sudah menemukan satu, tetapi yang satu ini sepertinya adalah buku harian rahasia. Mereka kaget sekali dengan temuan ini.Tetapi isinyalah yang membuat mereka terkejut.
Dari tulisan-tulisannya, Jessica sepertinya mengalami semacam delusi. Dia seperti dihantui oleh wujud-wujud tidak jelas di dalam mimpinya. Tulisannya acak-acakan. Sepertinya di ketakutan oleh suatu kengerian yang tidak bisa dipahami. Kebanyakan kata-kata kucing dan Kath muncul dalam buku harian yang berantakan itu.
Bella, yang tidak sengaja mendengar kabar terbaru ini langsung menginformasikannya pada temannya yang lain. Segera saja mereka terhanyut dalam sebuah diskusi yang tidak berujung.
“Permasalahan pokoknya adalah, siapakah yang telah mendorong Kath?” kata Rue akhirnya. “Itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.”
“Itu permasalahan kita sendiri Rue, bukan tim investigasi. Masalah mereka hanya menemukan bagaimana cara Jessica jatuh dari… dari atas sana.” Jawab Stephanie.
“Kau benar. Kita harus…-“
“Harus bisa membaca isi diari yang berantakan itu. Mungkin kebenarannya hanya ada di sana.” Potong Abby. “Bagaimana caranya kita mengambil buku diari itu tanpa sepengetahuan ibu Sica atau tim investigasi.”
“Tidak bisa. Bukunya sudah diamankan di kotak khusus.” Kata Bella pelan. “Aku tahu, karena aku lihat sendiri buku itu dicampakkan di sebuah kotak cokelat kusam…”
“Bah! Kalau begitu bagaimana caranya kita menuntaskan perkara ini? Aku sudah capek berhari-hari dihantui oleh masalah yang seakan-akan tak mempunyai akhir ini!” Tukas Rue.
“Kita cari saja lagi di kamar Sica,” usul Bella. “aku yakin bukunya lebih dari satu.”
“Tidak mungkin. Tim investigasi sudah mengobrak-abrik seluruh isi kamar Jessica dengan cermat, tidak mungkin ada yang terlewatkan.”
“Mereka tidak tahu tempat rahasia yang Jessica buat,” ucap Rue sambil menerawang. “Satu di bukaan sekitar tempat tidur, yang lain yang tersebar di laci-laci…”
Mendadak semuanya merasa tertarik. Mereka berbondong-bondong menuju rumah Jessica. Untung saja ibu Jessica memberi ijin pada mereka semua untuk masuk. Dengan cepat mereka menyisir segala macam tempat rahasia yang pernah dibuat Jessica.
Abby menemukan satu buku di laci ketiga. Ada semacam kotak rahasia di sana. Jessica pernah menjelaskan teknisnya. Dasar laci itu bukan dasar yang sebenarnya. Masih ada lagi satu lapis di bawahnya. Cara membukanya adalah dengan menusukkan semacam kawat kecil di lubang kecil di bawah laci, dan lapisannya akan terangkat dan menampakkan dasar aslinya. Bukunya-pun tersimpan dengan rapi di sana, tidak ada yang mengira bahwa di laci yang penuh dengan aksesoris itu ada barang lain yang disembunyikan.
“Kita baca saja yang ini dulu. Aku harap kita akan mengerti isinya.”
Kejadiannya yang benar adalah sebagai berikut.
Jessica memang benar-benar melupakan buku matematikanya, dan meminta Kath meminjamkan buku miliknya, karena dialah yang kelasnya paling dekat. Ketika Kath keluar dan menemui Jessica di depan kelasnya di lantai tiga, tiba-tiba dia jatuh karena tali sepatunya sendiri dan melukai lututnya. Bukunya terlempar ke seberang lorong. Jessica memungutnya dan melihat apakah Kath baik-baik saja atau tidak.
Poin pentingnya adalah darah. Lutut Kath yang berdarah, walaupun hanya setitik kecil, membuat suatu perubahan aneh dalam diri Jessica. Dia seakan dikuasai sesuatu yang memerintahkannya untuk menghilangkan darah itu barang hanya setitik. Dan Jessica melakukannya. Dia menarik paksa Kath untuk berdiri. Dibawah pengaruh sesuatu yang mengerikan itu, Jessica memecahkan kaca jendela lantai tiga itu dan mendorong Kath keluar dari sana. Memang dia menuruti perintah. Darahnya menghilang. Begitupun Kath. Setelah darahnya menghilang, kesadarannya kembali lagi dan menyadari bahwa Kath menghilang. Barulah dia tersentak dan mendengar jeritan anak-anak dari bawah.
Kebenaran akan kejadian yang sempat menggemparkan warga sekolah itu tidak diungkapkan begitu saja oleh mereka yang menemukan, untuk menghormati Jessica sekaligus mencegah rumor-rumor lain yang bisa saja muncul. Kebenaran yang sebenarnya hanya diketahui tim investigasi, ibu Jessica dan mereka berempat. Pada awalnya Mrs. Skimmer tidak percaya dengan apa yang berhasil diungkapkan oleh empat orang anak tersebut. Tetapi setelah dicocokkan dengan berbagai faktor, Mrs. Skimmer harus menerimanya dengan lapang dada.
“Aku bahkan tidak tahu dia punya Skizofrenia!” katanya. “Kenapa dia bisa tahu dengan sendirinya…?”
Bella menemukan beberapa satu buku lagi, di laci yang berbeda. Ditilik dari isinya, buku harian ini mungkin ditulis ketika Jessica masih belum masuk tahap kronis dalamskizofrenianya. Isinya ditulis dengan cara yang lebih rapi dan teratur. Di buku itu pula dijelaskan bagaimana Jessica tahu dirinya terkena penyakit gangguan jiwa tersebut.
“Hari ini aku bermimpi lagi, entah apa yang kubaca sebelum tidur, tetapi bayangan-bayangan yang terus mengikutiku itu selalu muncul. Entah dalam mimpi apapun. Dan kupikir aku mengalami semacam delusi yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun. Aku adalah seorang pembunuh! Bagaimana hal itu bisa terjadi? Aku mungkin telah membuat beberapa orang benci padaku, aku mungkin telah memarahi beberapa anak, tetapi itu tidak bisa disebut sebagai pembunuh ‘kan?
Hari ini aku bertingkah sangat aneh. Kata ibu aku diam selama dua jam, lalu tiba-tiba melompat-lompat seperti orang kesetanan. Akhir-akhir ini aku kacau. Dan aku ingat, ketika Bella jatuh kemarin malam, aku tidak sedih atau cemas. Setelah kupikir-pikir lagi hal itu cukup aneh. Harusnya aku khawatir, seperti kebanyakan orang lainnya. Ya ampun, apa yang harus kulakukan?
Hari ini…”
“Oke, stop, aku tidak mau mendengarnya lebih jauh lagi.” Kata Stephanie. “Buku itu mungkin akan membuatku berhalusinasi selama beberapa hari.”
Pembacaan buku dihentikan, tim investigasi menyegel kedua buku yang baru saja ditemukan itu dan beranjak pergi. Keempat anak itu, Rue, Abby, Bella dan Stephanie, masih berada di tempat, memaksa ibu Jessica untuk membantunya membereskan kamar Sica yang masih berantakan.
Mereka mulai membersihkan secara menyeluruh. Mengingat tidak akan ada lagi yang menempati kamar itu, mereka dengan bebas menaruh barang dimana saja.
“Tetapi,” kata Rue tiba-tiba. “ini masih belum selesai.”
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Abby.
“Tim investigasi masih belum tahu penyebab Sica jatuh dari atas… sana.”
Mereka semua terdiam. Perkataan Rue ada benarnya juga. Meskipun sudah diketahui Sica memiliki gangguan pada jiwanya, belum tentu hal itulah yang menyebabkan dirinya jatuh dari atap.
“Kurasa aku tahu bagaimana cara jatuhnya,” kata sebuah suara di belakang mereka.
Abby tersentak, mereka sama sekali melupakan kehadiran Mrs. Skimmer di sana. Begitu mereka menoleh ke belakang, tampaklah Mrs. Skimmer memandang mereka dengan tatapan datar. Tangannya terangkat ke atas, membawa sebilah pisau dapur yang berkilat, siap untuk dihunjamkan kedalam sebuah jantung.
Mereka berempat menjerit dan berusaha keluar kamar. Tetapi terlambat. Tim investigasi sudah jauh, dan akhirnya kamar Jessica berantakan untuk yang kedua kalinya…
Sudah lebih dari dua puluh menit Jessica menunggu, akhirnya dia beranjak dari tempatnya menunggu dan mulai berjalan pulang dengan perasaan kecewa. Apakah teman-temannya mempermainkannya? Apakah Kath tidak benar-benar pindah? Apakah hanya keisengan semata? Jessica tidak habis pikir. Sepanjang perjalanan pulang, dia mengutuki satu-satu semua teman-temannya.
“Lho, Sica. Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya ibunya ketika Jessica masuk dengan tergesa-gesa.
“Tidak apa-apa, ibu. Hanya sedih saja memikirkan Kath pergi.” Jawab Jessica berbohong.
Semula tampaknya ibu Jessica sangsi dengan pernyataan putrinya itu. Tetapi dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “’kan bisa kirim surat atau e-mail?”
Jessica bersikap seolah itu adalah ide yang bagus dan bergegas naik ke kamarnya di lantai dua. Dia berganti baju dan cepat-cepat menelpon Abby, salah satu panitia pesta perpisahan Kath.
Ketika telepon di seberang terangkat, Jessica langsung membentak si penerima.
“Bagaimana sih, kamu itu?!”
Untungnya, si penerima adalah Abby sendiri sehingga Jessica tidak malu kalau saja yang mengangkat adalah ayah Abby. Yang dibentak kaget, dan langsung memutus sambungan. Menyadari sikapnya yang tidak baik, Jessica menelponnya kembali dengan nada baik-baik.
“Hai, ini Abby?”
Kali ini Abby tidak kaget. “Iya, ini Jessica?”
“Kok tahu?”
“Terdengar dari suaramu yang khas,” kata Abby setengah geli. “Ada apa telepon siang-siang begini?”
Jessica menarik nafas dalam-dalam agar suaranya terdengar biasa. “Kamu masih ingat rencana farewell party kita? Tentang Kath?”
Abby diam sebentar. Jessica menunggu dengan tidak sabar. Akhirnya Abby menjawab juga. “Kath?”
“Iya. Rencana kita, aku, kamu, Bella, Rue dan Stephanie . Masa sudah lupa?”
“Aku tidak ingat ada teman kita yang bernama Kath. Kalaupun ada, pasti kakak kelas yang aku tidak kenal.”
Jessica kaget setengah mati mendengarnya. Kalau ibunya ingat ada yang bernama Kath, pasti yang lain juga ingat ‘kan?
“Apa kau yakin?”
“Yakin, seribu persen. Tidak ada satupun yang bernama Kath. Lagipula, kalau kau mau mendiskusikan soal ‘Kath’ ini, aku sekarang tidak ada waktu. Sebentar lagi aku harus…–“
BRAK.
Jessica membanting gagang telepon. Mana bisa Abby melupakan gadis tinggi nan cantik yang telah menjadi sahabatnya sejak dulu itu? Kebaikan hatinya tidak terlupakan, kepintarannyapun juga begitu. Tetapi baru saja Abby mengatakan tidak kenal siapapun yang bernama ‘Kath?’
Tujuan Jessica selanjutnya adalah Bella. Jangan sampai anak ini melupakan Kath yang pernah menyelamatkannya dari bahaya, geramnya. Dia sudah mulai menekan nomor ponsel Bella.
Tunggu, pikir Jessica di tengah nada tunggu. Jangan terlalu terbakar emosi dulu, Sica.
“Hai, Sica.” Bella menjawab.
“Hai juga, Bella. Kamu ada di mana?” kata Jessica, berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang.
“Tentu saja aku ada di rumah! Ada apa? Mau main ke rumahku?”
“Bukan. Aku hanya ingin tanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kamu ingat rencana kita? Kath?” kata Jessica dengan hati-hati.
Nada suara Bella selanjutnya terdengar aneh. “Ada apa dengan Kath?”
Akhirnya ada yang ingat tentang Kath! Sorak Jessica dalam hati. “Bukankah kita merencanakan tentang farewell party untuknya? Siang ini? Di halaman belakang sekolah?”
“Sica, kamu terkena amnesia atau apa? Bukannya Kath… Kau yang…” Bella tercekat di ujung sana. Sunyi sebentar.
“Sudahlah. Kau membuatku dapat mimpi buruk lagi. Bye, Sica.”
Lalu Bella memutuskan hubungan.
Jessica sekali lagi heran. Apakah dia benar-benar terkena amnesia? Harusnya Abby yang begitu, karena dia sama sekali tidak mengingat apapun. Seharian ini benar-benar aneh. Sebelum menelpon yang lain, Jessica turun ke bawah untuk meyakinkan kenyataan sekali lagi.
Dia bertanya pada ibunya sekali lagi dan bahkan ibunya tahu tentang Kath. Jessica benar-benar pusing akhirnya dia memutuskan untuk tidur siang sebentar dan berharap ketika dia bangun dunia sudah berjalan dengan benar kembali.
“Sica? Sudah bangun?”
Ibu Jessica mengetuk pintu kamar dengan hati-hati. Jessica yang sudah terjaga agak lama itu berjalan membuka pintu. Ternyata ibunya tidak sendirian. Dia bersama Stephanie, saudara jauh Kath.
“Hai Sica, maaf mengganggu tidur siangmu,” kata Stephanie salah tingkah.
“Tidak kok, aku senang kamu datang.” Jawab Jessica sambil tersenyum. “Ayo masuk kamarku.”
“Kutinggal dulu, ya. Selamat bersenang-senang.” Kata Ibu Jessica.
Sepeninggal beliau, Stephanie langsung kembali ke sifat aslinya. Dia duduk serampangan di tempat tidur Jessica yang masih berantakan. “Sica, aku benar-benar khawatir.”
“Soal apa?” tanya Jessica. Dia duduk di lantai kamarnya dan mendengarkan. Hatinya berdebar-debar. Mungkin saja yang akan dibicarakan adalah soal Kath. Ternyata bukan. Stephanie hanya membicarakan soal pacarnya. Jessica sampai bosan mendengarnya.
“Nah,” katanya akhirnya. Setelah mendapat ruang berbicara saat Stephanie mengambil nafas setelah berbicara sepuluh menit tanpa jeda sedikitpun. “Bagaimana kabar Kath?”
Raut wajah Stephanie yang semula kesal menjadi terkejut bercampur takut. “Apa maksudmu dengan ‘kabar’?”
Karena sudah tak tahan lagi, Jessica akhirnya meledak. “Kau juga! Kenapa semuanya melupakan Kath?! Ada apa dengannya? Apa ada yang salah dengannya? Atau denganku?”
Stephanie terpana melihatnya marah. “Sica, kamu sudah melupakannya?”
“Melupakan apa?”
“Kecelakaan beberapa tahun yang lalu, kecelakaan karena…” Stephanie menarik nafas. “Karenamu.”
Jessica diam saja.
“Kamu benar-benar tidak ingat? Kath yang terjatuh dari lantai tiga sekolah kita hanya karenamu yang lupa membawa buku matematika! Hanya karena dia yang tersandung tali sepatunya sendiri dalam perjalanan mengantarkan bukumu, lalu terjatuh dan terlempar keluar jendela di lantai tiga? Lantai tiga sekolah kita, Sica. Tidak ingatkah kau?”
Sekarang Jessica tercekat.
Sudah lebih dari tiga bulan sejak kejadian itu. Jessica sudah melupakan semuanya. Dua hari setelah dia tahu kenyataan yang sebenarnya, Jessica terbaring lemah di rumah sakit karena kondisinya drop. Nilai-nilainya turun drastis, kondisi kejiwaannya tidak stabil. Pikirannya terganggu karena kenyataan pahit itu. Ibunya khawatir dan membawanya ke rumah sakit untuk mendiagnosa keanehan putrinya itu. Lalu tiga hari setelah dia dibawa ke rumah sakit, Jessica koma tanpa sebab.
“Sica,”
Jessica tidak menengok ke belakang. Ibunya mendekatinya yang sedang asyik memandang langit malam yang kelam. Dia membawa dua gelas cokelat panas lalu diberikannya satu pada Jessica. Putrinya menyambutnya dengan senang. “Terima kasih,”
“Kembali,” jawab ibunya.
Mereka menyeruput isi gelas masing-masing. Jessica kembali memandangi langit malam. Bintang-bintang berpendar menerangi sebagian kecil dari angkasa, sementara bagian lainnya mendung tertutup awan. Tampaknya akan ada hujan sebentar lagi.
Jessica duduk di kursi kayu yang berada di sampingnya dan menghembuskan nafas. Ini baru seminggu dari kesadarannya setelah koma. Jessica memaksa ibunya untuk membiarkannya pulang ke rumahnya sendiri, bukan mendekam di rumah sakit. Sebenarnya dokter tidak mengizinkannya pulang, tetapi Jessica terlihat sedikit aneh saat memaksa dokter untuk memulangkannya.
“Malam ini indah, ya?” Kata ibu Jessica pelan. Lawan bicaranya hanya diam. Jessica tahu, ini adalah permulaan dari sesuatu yang akan dibicarakan secara serius oleh mereka berdua.
“Tidak usah begitu, katakan saja apa yang mau ibu bicarakan,”
Ibunya tersenyum. “Terima kasih, Sica. Kau membuat ini lebih mudah.”
“. . .”
“Baiklah. Apa kau ingat semua kenanganmu dengan Kath?”
Jessica tersentak. “Ada apa dengan Kath?”
Ibunya menghela nafas dan berjalan ke arah pinggiran beranda. Bintangnya sudah tertutupi awan. “Tidak… aku hanya ingin tahu.”
Jessica diam saja. Dia tidak ingin mengenang kembali saat bersama Kath. Perasaan bersalah itu langsung muncul begitu dia membayangkan wajah Kath. Sica tidak ingin perasaan itu menghantui hari-harinya kemudian nilai-nilainya turun kembali.
“Aku… lumayan ingat. Sedikit-sedikit. Ada apa?”
“Tidak… hanya penasaran. Apakah dia teman baikmu?”
“Dialah satu-satunya orang yang mengetahui perceraian ibu dengan ayah,” kata Jessica. Suaranya perlahan menghilang. Ibunya, yang sebenarnya kaget sekali, diam saja.
“Untuk apa kau menceritakannya pada Kath?”
Jessica menggeleng. Dia tidak bermaksud menceritakannya pada Kath dulu. Dia hanya keceplosan. Tetapi sedetik kemudian dia sadar itu adalah masalah pribadinya sendiri. Seharusnya tidak ada orang yang tahu. Jessica langsung merasa bersalah telah kelepasan bicara.
“Ibu, aku…-“
“Iya, kau tidak sengaja bicara ‘kan? Sudahlah, tidak usah merasa bersalah.”
Jessica meringis lalu melanjutkan ceritanya tentang Kath. Sudah beberapa saat berlalu ketika Sica selesai bicara. Ibunya berpura-pura menguap dan berkata ingin pergi tidur. Jessica mengucapkan selamat malam padanya dan melanjutkan merenung di beranda.
Kejadian-kejadian tentang Kath berkelebat dalam pikirannya. Ingatannya berkurang sejak sadar dari koma. Lama-lama ingatannya hilang. Dia sudah tidak ingat nama lengkap Kath sekarang. Dia hanya ingat sekelebatan dari kejadian jatuhnya Kath dari lantai tiga sekolah. Dia sedang membawakan buku matematika miliknya untuk Jessica yang lupa membawa. Kemudian, Jessica menemuinya di depan kelasnya di lantai tiga… lalu seingatnya Kath sudah berada di bawah, di lapangan basket sekolah dengan genangan darah dan dikerumuni oleh anak-anak yang panik. Kemudian Jessica langsung cepat-cepat turun dan terpeleset di tangga…
Bukan, bukan seperti itu kejadiannya. Jessica berani bertaruh kejadiannya bukan seperti itu. Tidak ada kejadian terpeleset di tangga, dan harusnya ada kejadian yang terjadi sebelum Kath tergeletak di bawah sana. Harusnya ada… ada, tetapi entah kenapa Jessica tidak dapat mengingatnya. Seakan ada yang memodifikasi ingatannya…
Ah, apakah Jessica-lah yang mendorongnya? Apakah dirinya sendiri yang mendorong Kath? Stephanie bilang kecelakaan itu terjadi karenanya… bukan, karena tersandung tali sepatunya sendiri… Bukan!! Ada yang mendorong Kath, sepanjang ingatan Sica, harusnyaada yang mendorong Kath… Dirinya sendiri-kah…? Atau orang lain…?
***
Jessica Skimmer meninggal karena jatuh dari atap rumahnya sendiri. Ditemukan jam tiga pagi waktu setempat oleh ibunya sendiri yang langsung histeris. Seluruh warga kompleks perumahan itu geger pagi itu, mengerubungi rumah berwarna putih gading itu. Seluruh kompleks itu mengenal Jessica. Rambut panjang pirangnya sudah terkenal hingga kemana-mana.
Penyebab jatuhnya Jessica tidak diketahui hingga seminggu kedepan. Tim yang ada menolak untuk menyerah. Mereka mengunjungi kediaman Mrs. Skimmer setiap hari, menyisir bagian atap yang sudah diteliti paling sedikit lima kali, dan berusaha menemukan sesuatu yang berarti. Sampai saat ini asumsi masyarakat adalah murni kecelakaan. Terpeleset lumut atau sejenisnya lalu jatuh. Tetapi tim investigasi kepolisian yang terlalu tertarik pada kasus ini menolak mentah-mentah asumsi itu. Mereka percaya ada sesuatu yang menyebabkan Jessica Skimmer terjatuh dari atap, karena tidak ada teriakan minta tolong atau bekas-bekas lumut terinjak dan terlepas dari tempatnya semula. Bahkan, tidak ada lumut.
Semua yang mengenal Jessica di sekolah menyangkut-pautkan peristiwa ini dengan peristiwa jatuhnya Kath. Hampir seluruh anak di sekolah percaya bahwa Jessica-lah yang mendorong Kath. Entah dari mana gosip itu beredar, tetapi anggapan mereka sudah pasti seperti itu.
“Sudah jelas dialah yang mendorongnya, banyak saksi mata yang menyaksikan, bahkan ada beberapa yang mendapat mimpi buruk karena hal itu,” jelas Luna Nightee, teman sekelas Jessica yang diminta kesaksiannya oleh tim investigasi. Berita ini sudah masuk ke majalah sekolah, menjadi topik pembicaraan paling hangat saat ini. Bella tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini. Dia dan Stephanie sering mendiskusikan hal ini bersama. Dengan Abby dan Rue juga. Abby tidak mau mengingat, setidaknya berpura-pura bahwa kejadian itu tidak pernah terjadi. Dia sekarang merasa bersalah pada Jessica. Dia mengatakan ‘tidak mengenal Kath’, padahal dia hanya menghindari Sica mengungkit-ungkit hal itu.
Mereka mendiskusikan hal yang sama berkali-kali, tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi di siang hari yang terik itu. Semuanya memiliki kronologis yang berbeda. Stephanie dan Abby berdebat dengan penyebab jatuhnya Kath. Seharusnya dia tersandung tali sepatunya sendiri, menurut Stephanie.
“Tidak. Memang benar Jessica-lah yang mendorong Kath. Aku lihat sendiri.” Omel Abby. “Karena itulah aku tidak mau mengingat kejadian itu!”
“Tidak! Masa temannya sendiri mendorong Kath? Aku tidak percaya sedikitpun. Kau bukan teman sekelas Jessica,” Tukas Stephanie. “Kau sekelas dengan Kath!”
“Jessica memiliki semacam kelakuan aneh…” kata Bella menyela mereka. “Kau tahu, dia pernah mengatakan kalau dia mengidap skizofrenia…”
“Apa itu?”
“Aku tidak tahu secara spesifik… Yang jelas ada hubungannya dengan khayalan, halusinasi dan sebagainya…”
“Jadi dia berhalusinasi tentang,” Rue menghembuskan nafas sejenak. “Kath?”
“Mungkin,” kata Bella datar.
“Ini menjadi semakin rumit saja…” desah Abby. “Sebaiknya aku pulang sebelum ibuku semakin khawatir denganku.”
Lalu yang lain-lainnya mengikutinya pulang.
Tim investigasi mengalami kemajuan seminggu setelahnya. Mereka mengobrak-abrik isi kamar Jessica, dibawah izin ibunya, dan mereka menemukan sebuah buku harian. Sebelumnya mereka juga sudah menemukan satu, tetapi yang satu ini sepertinya adalah buku harian rahasia. Mereka kaget sekali dengan temuan ini.Tetapi isinyalah yang membuat mereka terkejut.
Dari tulisan-tulisannya, Jessica sepertinya mengalami semacam delusi. Dia seperti dihantui oleh wujud-wujud tidak jelas di dalam mimpinya. Tulisannya acak-acakan. Sepertinya di ketakutan oleh suatu kengerian yang tidak bisa dipahami. Kebanyakan kata-kata kucing dan Kath muncul dalam buku harian yang berantakan itu.
Bella, yang tidak sengaja mendengar kabar terbaru ini langsung menginformasikannya pada temannya yang lain. Segera saja mereka terhanyut dalam sebuah diskusi yang tidak berujung.
“Permasalahan pokoknya adalah, siapakah yang telah mendorong Kath?” kata Rue akhirnya. “Itulah yang membuat segalanya menjadi rumit.”
“Itu permasalahan kita sendiri Rue, bukan tim investigasi. Masalah mereka hanya menemukan bagaimana cara Jessica jatuh dari… dari atas sana.” Jawab Stephanie.
“Kau benar. Kita harus…-“
“Harus bisa membaca isi diari yang berantakan itu. Mungkin kebenarannya hanya ada di sana.” Potong Abby. “Bagaimana caranya kita mengambil buku diari itu tanpa sepengetahuan ibu Sica atau tim investigasi.”
“Tidak bisa. Bukunya sudah diamankan di kotak khusus.” Kata Bella pelan. “Aku tahu, karena aku lihat sendiri buku itu dicampakkan di sebuah kotak cokelat kusam…”
“Bah! Kalau begitu bagaimana caranya kita menuntaskan perkara ini? Aku sudah capek berhari-hari dihantui oleh masalah yang seakan-akan tak mempunyai akhir ini!” Tukas Rue.
“Kita cari saja lagi di kamar Sica,” usul Bella. “aku yakin bukunya lebih dari satu.”
“Tidak mungkin. Tim investigasi sudah mengobrak-abrik seluruh isi kamar Jessica dengan cermat, tidak mungkin ada yang terlewatkan.”
“Mereka tidak tahu tempat rahasia yang Jessica buat,” ucap Rue sambil menerawang. “Satu di bukaan sekitar tempat tidur, yang lain yang tersebar di laci-laci…”
Mendadak semuanya merasa tertarik. Mereka berbondong-bondong menuju rumah Jessica. Untung saja ibu Jessica memberi ijin pada mereka semua untuk masuk. Dengan cepat mereka menyisir segala macam tempat rahasia yang pernah dibuat Jessica.
Abby menemukan satu buku di laci ketiga. Ada semacam kotak rahasia di sana. Jessica pernah menjelaskan teknisnya. Dasar laci itu bukan dasar yang sebenarnya. Masih ada lagi satu lapis di bawahnya. Cara membukanya adalah dengan menusukkan semacam kawat kecil di lubang kecil di bawah laci, dan lapisannya akan terangkat dan menampakkan dasar aslinya. Bukunya-pun tersimpan dengan rapi di sana, tidak ada yang mengira bahwa di laci yang penuh dengan aksesoris itu ada barang lain yang disembunyikan.
“Kita baca saja yang ini dulu. Aku harap kita akan mengerti isinya.”
Kejadiannya yang benar adalah sebagai berikut.
Jessica memang benar-benar melupakan buku matematikanya, dan meminta Kath meminjamkan buku miliknya, karena dialah yang kelasnya paling dekat. Ketika Kath keluar dan menemui Jessica di depan kelasnya di lantai tiga, tiba-tiba dia jatuh karena tali sepatunya sendiri dan melukai lututnya. Bukunya terlempar ke seberang lorong. Jessica memungutnya dan melihat apakah Kath baik-baik saja atau tidak.
Poin pentingnya adalah darah. Lutut Kath yang berdarah, walaupun hanya setitik kecil, membuat suatu perubahan aneh dalam diri Jessica. Dia seakan dikuasai sesuatu yang memerintahkannya untuk menghilangkan darah itu barang hanya setitik. Dan Jessica melakukannya. Dia menarik paksa Kath untuk berdiri. Dibawah pengaruh sesuatu yang mengerikan itu, Jessica memecahkan kaca jendela lantai tiga itu dan mendorong Kath keluar dari sana. Memang dia menuruti perintah. Darahnya menghilang. Begitupun Kath. Setelah darahnya menghilang, kesadarannya kembali lagi dan menyadari bahwa Kath menghilang. Barulah dia tersentak dan mendengar jeritan anak-anak dari bawah.
Kebenaran akan kejadian yang sempat menggemparkan warga sekolah itu tidak diungkapkan begitu saja oleh mereka yang menemukan, untuk menghormati Jessica sekaligus mencegah rumor-rumor lain yang bisa saja muncul. Kebenaran yang sebenarnya hanya diketahui tim investigasi, ibu Jessica dan mereka berempat. Pada awalnya Mrs. Skimmer tidak percaya dengan apa yang berhasil diungkapkan oleh empat orang anak tersebut. Tetapi setelah dicocokkan dengan berbagai faktor, Mrs. Skimmer harus menerimanya dengan lapang dada.
“Aku bahkan tidak tahu dia punya Skizofrenia!” katanya. “Kenapa dia bisa tahu dengan sendirinya…?”
Bella menemukan beberapa satu buku lagi, di laci yang berbeda. Ditilik dari isinya, buku harian ini mungkin ditulis ketika Jessica masih belum masuk tahap kronis dalamskizofrenianya. Isinya ditulis dengan cara yang lebih rapi dan teratur. Di buku itu pula dijelaskan bagaimana Jessica tahu dirinya terkena penyakit gangguan jiwa tersebut.
“Hari ini aku bermimpi lagi, entah apa yang kubaca sebelum tidur, tetapi bayangan-bayangan yang terus mengikutiku itu selalu muncul. Entah dalam mimpi apapun. Dan kupikir aku mengalami semacam delusi yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun. Aku adalah seorang pembunuh! Bagaimana hal itu bisa terjadi? Aku mungkin telah membuat beberapa orang benci padaku, aku mungkin telah memarahi beberapa anak, tetapi itu tidak bisa disebut sebagai pembunuh ‘kan?
Hari ini aku bertingkah sangat aneh. Kata ibu aku diam selama dua jam, lalu tiba-tiba melompat-lompat seperti orang kesetanan. Akhir-akhir ini aku kacau. Dan aku ingat, ketika Bella jatuh kemarin malam, aku tidak sedih atau cemas. Setelah kupikir-pikir lagi hal itu cukup aneh. Harusnya aku khawatir, seperti kebanyakan orang lainnya. Ya ampun, apa yang harus kulakukan?
Hari ini…”
“Oke, stop, aku tidak mau mendengarnya lebih jauh lagi.” Kata Stephanie. “Buku itu mungkin akan membuatku berhalusinasi selama beberapa hari.”
Pembacaan buku dihentikan, tim investigasi menyegel kedua buku yang baru saja ditemukan itu dan beranjak pergi. Keempat anak itu, Rue, Abby, Bella dan Stephanie, masih berada di tempat, memaksa ibu Jessica untuk membantunya membereskan kamar Sica yang masih berantakan.
Mereka mulai membersihkan secara menyeluruh. Mengingat tidak akan ada lagi yang menempati kamar itu, mereka dengan bebas menaruh barang dimana saja.
“Tetapi,” kata Rue tiba-tiba. “ini masih belum selesai.”
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Abby.
“Tim investigasi masih belum tahu penyebab Sica jatuh dari atas… sana.”
Mereka semua terdiam. Perkataan Rue ada benarnya juga. Meskipun sudah diketahui Sica memiliki gangguan pada jiwanya, belum tentu hal itulah yang menyebabkan dirinya jatuh dari atap.
“Kurasa aku tahu bagaimana cara jatuhnya,” kata sebuah suara di belakang mereka.
Abby tersentak, mereka sama sekali melupakan kehadiran Mrs. Skimmer di sana. Begitu mereka menoleh ke belakang, tampaklah Mrs. Skimmer memandang mereka dengan tatapan datar. Tangannya terangkat ke atas, membawa sebilah pisau dapur yang berkilat, siap untuk dihunjamkan kedalam sebuah jantung.
Mereka berempat menjerit dan berusaha keluar kamar. Tetapi terlambat. Tim investigasi sudah jauh, dan akhirnya kamar Jessica berantakan untuk yang kedua kalinya…