Hari ini kamu memang tidak terlalu sial. Kamu mendapat urutan ke-8 dari 31 siswa. Memang tetap saja awal. Tetapi jika menurut absen, kamu seharusnya lebih awal dipanggil. Kamu pun berjalan ke depan kelas. Tetap dengan keraguan itu.
Aku tersenyum. Memang kali ini aku mendapat tempat yang sempurna. Bangku paling depan yang paling dibenci siswa lain, tapi aku merasa beruntung mendapakannya karena bisa melihat wajahmu pada jarak yang begitu dekat. Ah. Menjijikkan sekali.
Kamu membacakan karya yang kamu bilang dibuat dengan susah payah itu. Yah, meski aku tak pernah berbicara denganmu, aku tahu. ‘sst, tapi temanku bilang aku cukup seram karena hampir tahu semua hal kecil tentangmu’. Tidak juga. Aku tak merasa begitu selama belum pernah berbicara denganmu. Dan aku merasa kita memang terlalu jauh. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya melihat apa yang kau tulis dalam jejaring sosial. Dalam rangkuman yang kau buat. Emoticon yang selalu kau pakai. Dan itu semua menyenangkan.
“Indonesia”
Aku tersenyum. Itu kamu. Benar-benar kamu. Memang tidak mungkin kamu membuat sesuatu tentang patah hati, kegalauan remaja, dan semua hal tentang percintaan yang fana. Dan aku suka itu.
Seperti yang lalu-lalu, suaramu memang tak pernah benar-benar keras meski berat. Tempomu terlihat tak tenang. Intonasimu tak jelas. Wajahmu gagal mengekspresikan maksud dari puisimu. Tapi, aku mendengar itu adalah sesuatu yang merdu.
“aku nggak suka sama dia. Kayak nggak pernah mau bersosialisasi.” Seseorang mengomentarimu. Dia bukan orang jahat, hanya kritis. Dan lagi komentar itu adalah komentar yang hampir sama dari setiap orang yang membicarakanmu didepanku. Padahal, aku tahu bukan itu. Kamu ingin, tapi tidak bisa. Kamu hanya bisa diam, bukan hanya ingin diam. Aku mengerti.
“membelamu”
Jujur, aku hanya bisa mengingat kata terakhir itu.
Dan spontan tangan ini bertepuk tangan ketika kamu menyudahi dengan anggukan. Berjalan cepat, seperti tak mau lebih lama lagi berada di posisi menyiksa itu.
Nov, 12th 2013