“Misaki, pergilah ke ruang gymnasium dan…-“
“Tidak, terima kasih.”
“Tetapi, kasihan dia sudah…-“
“…maaf.”
Atau mungkin masih ada ‘selanjutnya’?
Merah. Semuanya merah. Apakah mataku saja yang bermasalah ataukah memang semuanya yang berubah menjadi merah? Di tengah keributan seperti ini mustahil untuk berpikir dengan tenang. Tarik nafasmu, Misaki, dan hembuskan.
Merah adalah berani. Merah adalah simbol bagi kekuatan. Namun yang kulihat saat ini adalah kekuatan yang keji. Merah dimana-mana, bahkan di kedua tanganku sendiri. Tubuh-tubuh penuh noda merah bergelimpangan di sudut-sudut jalan. Siapa mereka? Entahlah. Yang jelas mereka adalah korban dari sang Merah yang sudah kelewat batas ini.
Lalu kuputuskan bahwa sang Merah adalah jahat…
Lalu pejamkan matamu,
hilangkanlah semua yang jahat dan hadirkanlah semua yang baik.
Seperti awan yang menurunkan air matanya.
Biru. Hampir seluruhnya berwarna biru. Meskipun biru adalah warna kesukaanku, tetapi kebiruan ini membuatku jijik. Muntah hanya akan memperburuk keadaan. Kupandangi saja mayat-mayat yang membiru di depanku ini.
Biru adalah ketenangan. Biru adalah simbol dari kedamaian dan ilmu pengetahuan. Namun yang kurasakan saat ini adalah ketenangan yang sunyi, salah satu bentuk dari kedamaian yang hampa. Kemana perginya orang-orang yang jahat itu? Menghilang ditelan bumi? Kenapa mereka menyisakanku sendiri di sini? Kenapa tidak sekalian saja melenyapkanku, membawaku bersama kakakku yang ditebasnya tadi? Kenapa?
Aku benci warna biru…
Langit yang bergetar sendu,
Hembusan angin yang berhembus pelan,
Dan rumput yang bergoyang.
Kuning. Aura warna kuning terasa sangat kontras di tempat ini. Mereka sedang bergembira-ria. Gelas-gelas kosong cepat terisi dan tumpahan busa dimana-mana. Aku sendirian di sudut ruangan, memandang mereka dengan perasaan kecewa. Kenapa mereka hanya memikirkan kemenangan? Kemana perginya akal sehat mereka itu?
Kuning adalah keceriaan. Kuning adalah simbol dari independensi. Tetapi bukan ‘berdiri sendiri’ yang seperti ini! Ini adalah bentuk dari ketidakteraturan! Semuanya berantakan, tidak memiliki suatu bentuk yang utuh. Ini adalah bentuk dari keserakahan! Namun aku bisa apa? Aku hanyalah sesosok hitam di pojok ruangan, aku hanyalah seorang kurir, yang tidak memiliki pengaruh sama sekali. Aku yakin kehadiranku tidak diketahui.
Bodoh. Keceriaan ini tidak berarti...
Awan itu putih, dan langit itu biru
Aku berada di sini, dan anginpun memburu.
Putih. Kebutaan ini berwarna putih. Putih itu bukan warna. Putih itu melanggar aturan. Jadi, kenapa kita di sini diselimuti warna putih?
Putih itu murni. Putih adalah simbol dari perlindungan. Semua warna terlihat sangat jelas; noda merah di tangannya, dan mayat-mayat yang membiru itu. Perempuan di depanku ini juga memberi suatu warna yang kuat. Kurasa ia dibawa kemari karena wilayah ini adalah satu-satunya yang kerusakannya paling sedikit. Aku mengenalnya, aku yang menunggunya di gimnasium dulu, aku yang menerima salam tak menyenangkan darinya.
“Kau Misaki, ya?”
“...apakah aku mengenalmu?”
Aku mendesah. “Mungkin.”
“…Ya. Aku Misaki.”
Aku melihatnya tersenyum. Senyum yang rapuh. Dalam keadaan seperti ini tidak mungkin kau bisa tersenyum riang.
“Wilayahmu… parah?”
“Kalau begitu untuk apa aku dibawa kemari?”
Jadi, jawabannya adalah ya.
“Untunglah kau selamat.”
Untunglah kau selamat. Andai saja kakakku juga selamat.
“Tidak. Lebih baik aku terbawa juga sekalian. Tidak ada gunanya aku disini.“
Jadi, kita sama.
“Jangan berkata begitu,” aku tersenyum. “Tuhan telah berbaik hati tidak melenyapkanmu.“
Misaki tertawa hampa. “Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, untuk apa Tuhan berbaik hati kepadaku?“
Lalu kuputuskan bahwa putih itu dingin...
Blackout.
Entah ada apa di depanku.
Tunggul-tunggul kayu yang terbakar,
atau sebuah jurang yang sangat dalam,
Aku tidak peduli.
Hitam. Pandangan mataku mengabur, lama-kelamaan menjadi hitam. Pusing yang menguasai kepalaku semakin menguat. Aku mencari-cari cahaya. Aku mencar-cari matahari. Aku mencari apapun yang bisa menerangi kegelapan ini. Anak di depanku kelihatannya mengkhawatirkanku.
“Kau tidak apa-apa?“
Aku baik-baik saja, aku ingin menjawab. Tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
“Misaki, kau mendengarku?“
Sekali-lagi, tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Kegelapan ini lumayan menyakitkan.
Hitam adalah kuat. Hitam adalah simbol dari sesuatu yang abadi. Lalu kegelapan ini... oh! Mungkinkah aku sudah mati? Namun aku masih bisa mendengar suara anak laki-laki di depanku tadi, itu berarti aku belum mati? Perlahan aku mulai menikmati kegelapan dan tidak berusaha untuk melihat sebuah titik terang. Tanganku tidak menggapai-gapai lagi.
“Tunggu di sini, Misaki. Aku akan mencari bantuan.“
Tidak usah! Kau tidak perlu mencari bantuan! Biarkan aku di sini, menikmati kegelapanku sampai aku tidak bisa menikmatinya.
Kemudian ada suara-suara datang. Aku mengiranya sebagai para ‘bantuan‘ yang dikatakan anak laki-laki tadi. Ternyata tidak. Aku mengenali suaranya. Suara sang Merah yang telah menumpas habis semua keluargaku tadi.
Berdasarkan pendengaranku, mereka semua sedang menyerbu tempat pengungsian ini. Mestinya aku panik. Bisa kurasakan semua orang, selain sang Merah dan pasukannya, panik. Mereka berlarian dan mencari tempat perlindungan. Memang pada awalnya aku panik. Aku berusaha mengusir rasa pusing yang semakin menjadi-jadi ini. Namun kemudian aku menyadari,untuk apa lagi aku hidup? Tidak ada yang kusapa setiap pagi. Tidak ada yang bisa kuharapkan kehadirannya ketika aku pulang dari sekolah. Tidak ada yang bisa kumarahi lagi. Jadi aku hanya duduk tenang di tempatku semula sementara anak laki-laki tadi –kelihatannya- mencemaskanku.
“Misaki, pergi dari sana! Cepat sembunyi!”
Dari nada suaranya, ia sudah berada di suatu tempat yang aman. Aku menggeleng.
“Misaki!”
Terlambat.
Hitam itu kuat, hitam itu damai, hitam itu ceria, hitam itu murni.