Sebelum tidur, aku selalu was-was. Apa lagi yang akan membuat jantungku berdegup lebih cepat dan perutku mulas besok? Itu pertanyaan yang mengudara baik di mimpi maupun realitas. Kadang langit-langit kamar berubah jadi papan dengan warna bekas spidol menodai putihnya. Disaat seperti itu, aku hanya mampu meringis, meratapi diri sendiri.
Tapi memang, satu-satunya yang pantas disalahkan hanyalah statusku.
Aku ini manusia enam belas tahun, tapi hidupku hanya di uji kebanyakan oleh angka dan logika. Dan selama itu aku hanya duduk menunggu siapa saja menyuapiku semangkuk besar pengetahuan demi sedikit gizi di relungku. Aku lelah - bukan hanya otakku, tapi juga kekosongan yang lain.
Yang membuatku marah bukanlah aku yang belum utuh.
Selama enam belas tahun aku pasrah dan patuh, membuatku cukup muak. Rasanya menjijikkan menyaksikan diriku sendiri terikat perjanjian iblis (bernama nilai) hanya karena aku terlalu pasrah, bukan karena aku mau. Bahkan tak hanya aku, kini di mata yang lainnya, aku juga hanya bisa melihat nyala api yang mengancam, padahal dipaksa entah oleh apa. Kata orang jaminan masa depan.
Omong kosong macam apa itu?
Masih kurangkah bukti kesuksesan tanpa ijazah di luar sana? Maksudku, hal itu memang penting, tapi bukan satu-satunya. Milyaran orang termasuk aku, seakan lupa diri padahal sadar. Pura-pura terlena padahal hanya malas mengurusi dunia lain. Dunia saat makanan tidak hanya di dapat dari angka di rapot melainkan kasih di hati. Dunia saat ini, tanpa dicampuri rencana masa depan - yang bahkan kita tak pernah tahu akan sesuai atau tidak.
Ah, rasanya terlambat. Duniaku saat ini tak pernah ada.
Aku lelah mengira-ngira masa depan, tentang mansion mahal dan gelar yang membuat orang kesusahan mengingat namaku.
Tapi aku tidak bisa berhenti bukan? Aku tidak punya alasan untuk meninggalkan semuanya dan bersikap santai, lalu beranggapan aku masih menjadi aku. Hal itu sama halnya bunuh diri bagiku, bagi kalian wahai yang teracuni.
Kenyataannya sukses dalam hal lain bisa datang bersamaan kan?
Tapi memang, satu-satunya yang pantas disalahkan hanyalah statusku.
Aku ini manusia enam belas tahun, tapi hidupku hanya di uji kebanyakan oleh angka dan logika. Dan selama itu aku hanya duduk menunggu siapa saja menyuapiku semangkuk besar pengetahuan demi sedikit gizi di relungku. Aku lelah - bukan hanya otakku, tapi juga kekosongan yang lain.
Yang membuatku marah bukanlah aku yang belum utuh.
Selama enam belas tahun aku pasrah dan patuh, membuatku cukup muak. Rasanya menjijikkan menyaksikan diriku sendiri terikat perjanjian iblis (bernama nilai) hanya karena aku terlalu pasrah, bukan karena aku mau. Bahkan tak hanya aku, kini di mata yang lainnya, aku juga hanya bisa melihat nyala api yang mengancam, padahal dipaksa entah oleh apa. Kata orang jaminan masa depan.
Omong kosong macam apa itu?
Masih kurangkah bukti kesuksesan tanpa ijazah di luar sana? Maksudku, hal itu memang penting, tapi bukan satu-satunya. Milyaran orang termasuk aku, seakan lupa diri padahal sadar. Pura-pura terlena padahal hanya malas mengurusi dunia lain. Dunia saat makanan tidak hanya di dapat dari angka di rapot melainkan kasih di hati. Dunia saat ini, tanpa dicampuri rencana masa depan - yang bahkan kita tak pernah tahu akan sesuai atau tidak.
Ah, rasanya terlambat. Duniaku saat ini tak pernah ada.
Aku lelah mengira-ngira masa depan, tentang mansion mahal dan gelar yang membuat orang kesusahan mengingat namaku.
Tapi aku tidak bisa berhenti bukan? Aku tidak punya alasan untuk meninggalkan semuanya dan bersikap santai, lalu beranggapan aku masih menjadi aku. Hal itu sama halnya bunuh diri bagiku, bagi kalian wahai yang teracuni.
Kenyataannya sukses dalam hal lain bisa datang bersamaan kan?