Ia lebih memilih ‘antara’ dari pada ‘seutuhnya’
Matanya akan melirik
Tapi kepalanya tak benar-benar bergerak
Lalu ia diam
Lalu, mata wanita itu melirik ke arah pintu yang terbuka. Ia bisa melihat jari-jari kecil yang memegang knop pintu itu bergetar. Sang pemilik jari-jari kecil itu adalah seorang gadis dengan rambut panjang. Mata bulatnya tampak berharap. Nyaris saja air mata keluar dari sana. Kakinya yang tak beralas sama tegangnya dengan anggota tubuh yang lain. Sehingga ia tetap disana, sampai wanita didepannya bergerak maju.
“ada apa? Apa mimpi buruk itu datang lagi? Kurasa kau bangun terlalu pagi.” Ucap wanita dihadapannya. Dengan senyum yang sama seperti saat ia pulang sekolah dua hari lalu.
Diam-diam kekhawatirannya berkurang. Beban di jari-jari dan seluruh tubuhnya seperti terbang bebas melewati matanya. Ia ikut tersenyum, sambil menggeleng. “tidak. Tidak apa-apa. Apa aku bisa sarapan sekarang?”
“kusarankan untuk menggosok gigi dan mengganti piyamamu itu terlebih dahulu. Ibu akan membuatkanmu susu dan sosis goreng.” Perempuan dewasa itu menyentuh rambut gelap gadis kecilnya. Lalu pindah kebahunya, dan membawa tubuh manis itu ke depan pintu sebuah ruangan lembab yang biasa disebut kamar mandi walau kenyataannya tak hanya dibuat mandi.
Bukan maunya
Semua bukan maunya
Dia masih bimbang
Ia berhenti menggeret sepatunya. Lalu memutar kepala pada pintu pagar putih yang tertutup. Memandangnya intens. Beralih pada pintu dengan papan kayu bertuliskan marganya. Ia mengira-ngira ekspresi ibunya saat ia membuka pintu. Atau seharusnya ia mengetuk pintu, dan membiarkan ibunya memutar knop pintu itu. Dan ia akan bersiap-siap terhadap perlakuan ibunya.
Ah, bodoh. Ia belum terbiasa. Kelihatannya belum mengerti.
“Ibu, aku pulang.”
Sudah. Ia sudah melakukannya. Langkahnya terus maju sampai ia bisa mendengar suara TV saat ia belum selesai menelusuri koridor sempit rumahnya. Pintu ruang TV terbuka, menampakkan seorang Wanita dibawah 30 tahunan dengan rambut panjang terikatnya. Ia sedang memperhatikan sebuah kotak elektronik bergambar wanita orkestra yang dikaguminya. Wanita itu ikut bersenandung. Gerak mulutnya mengikuti si penyanyi. Ia tampak senang.
“Ibu, aku pulang.” Ia mengulang dengan nada yang lebih direndahkan. Wanita yang dipanggilnya ‘Ibu’ itu menoleh. Ekspresinya datar. Tak memberi senyum atau kecupan didahinya. Lalu melanjutkan dendangannya.
“apa Ibu marah? Apa lagi-lagi aku melakukan kesalahan?” kali ini ia bertanya. Kakinya tiba-tiba jadi dingin. Lagi-lagi ia takut. Belum bisa terbiasa seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Seperti presepsi bahwa lama-kelamaan dia akan mengerti dan memaklumi. Dia ternyata tidak seperti itu.
“kalau Ibu benar-benar ma..” mulutnya langsung mengatup, saat ibunya menyela.
“oh, ayolah Ren. Kau agak mengganggu. Bukan. Malah sangat mengganggu. Apa kau pikir aku tidak pantas untuk marah?” Dan, yang ia lihat tadi pagi itu palsu? Atau justru yang asli? “Sudahlah. Cukup tutup mulutmu, dan biarkan hal apapun tak terjadi.”
Tenang Ren. Ini hanya karena kau masih kecil. Entah kapan kau akan dewasa, yang pasti saat dewasa nanti kau akan paham dan dapat mengikuti alur pemikiran ibumu. Dan satu hal, kau telah berjanji tidak akan menjadi ibu seperti ibumu. Kau percaya itu bukan?
Kadang dia paham seharusnya bersikap apa
Dia semakin bimbang
Matanya beralih pada bingkai foto dibawah cahaya lampu tidur. Fotonya bersama wanita itu seminggu yang lalu ketika darmawisata sekolah. Ia jadi ingat saat malam-malam – setelah foto dengan ekspresi bahagia itu diambil – ia ingin buang air dan wanita itu tak berhenti mengomelinya dan tentu saja dengan satu pukulan di paha. Ibunya memang aneh. Karena masalah kecil ibunya bisa marah habis-habisan. Selalu dilakukannya setelah lama terdiam, melamun.
“Ren, kau masih di situ?” suara khas ibunya terdengar. Dengan perasaan tak karuan yang tak wajar dirasakan seorang anak terhadap ibunya, ia cepat-cepat bersembunyi dibalik selimut. Buku bergambar yang baru ia baca cepat-cepat ia masukkan disela-sela bantal.
Selama beberapa menit, ia mendengar ibunya terus memanggil-manggil namanya. Tak satu pun ia sahuti. Sampai suara ibunya digantikan dengan suara pintu yang berderit. Ibunya masuk, dan dengan perlahan membuka selimutnya.
Dia yang keji, atau yang tersenyum manis
Tetap saja dia
Dia selalu bimbang
“tentu tidak.”
Sinar yang biasanya memancar dari mata tenang lelaki dihadapannya, telah lenyap.
Habis sudah. Ia tanpa sadar telah membunuh orang-orang yang menyayanginya. Sejak dulu tak pernah rasa itu hilang dari benaknya, begitu pula pada benak lelaki itu. Tapi mereka berpura-pura. Sama-sama cinta tak membuahkan apa-apa.
“aku mencintaimu. Sampai kapanpun keputusan berpisah bukan yang tepat bagiku. Tujuh tahun sejak kehadiran Ren tanpamu, apa kau pikir itu masuk akal untuk aku tetap mendidiknya dengan baik? Kau tahu, aku terus berpikir Ren adalah penyebab kita harus berpisah. Sebelum sempat pemikiran itu kutepis jauh-jauh, aku sudah melakukannya terlebih dahulu. Begitu sadar, aku sungguh menyesal. Selalu begitu. Sungguh. Aku selalu menyesal. Sehabis kupukuli dia, selalu kuobati lukanya.” Wanita itu semakin liar. Usahanya lepas dari besi yang melingkari kedua tangannya jelas sia-sia. Tapi ia terus saja menjelaskan dengan suara keras, sampai darah mulai bercucuran dipergelangannya. Berusaha meraih lelaki dihadapannya.
“aku mencintaimu. Sangat.”
Laki-laki itu hanya diam, menahan air mata yang sejak tadi nyaris menyembul keluar, membuat bola matanya menjadi permata berkilauan. “kau kira apa gunanya penyesalanmu itu?”
Dia tak pernah diam. Terus melangkah, hanya salah langkah.
“sekarang aku disini. Apa kau puas? Ini memang salahku membiarkan Ren terus bersamamu. Ini salahku.” Air mata laki-laki itu tak lagi bisa di tahan. “Memang aku yang diam-diam telah membunuhnya.”
Sedang wanita itu mulai tenang. Kembali duduk di kursi, tempat semestinya ia duduk. Lalu berkata “tidak. Aku memang ibu yang jahat. Ibu paling jahat. Ibu paling jahat”
Air matanya tetap pada tempatnya. Bukannya menangis, ia malah tersenyum. Tertawa sambil mengulang-ulang kalimat “Ibu paling jahat”
“dan aku adalah ayah paling jahat.” Laki-laki itu menambahkan. Menghabiskan jam jenguknya dengan duduk di tempat yang sama, mengeluarkan air mata tanpa isak. Memandangi mantan istrinya yang tertawa lebar.