Mengelilingi kota tanpa tujuan, aku bersepeda menyusuri pinggiran sungai yang keruh dan kotor. Aku mengeluh. Kenapa semua sungai di kota ini kotor? Betapa menyenangkannya jika kita bisa langsung minum dari pinggir sungai, melihat aliran air yang terbuat dari sela jari kaki kita... Indah...
"Kau benar," aku terlonjak karena kaget. Ada seorang laki-laki putih dan... tinggi yang berjalan ke arahku. "Aku lebih suka sungai yang seperti itu."
"Bagaimana... kau...?"
"Aku seorang mind-reader." Katanya tenang. "Omong-omong, namaku Klaus. Klaus Dellaire. Kau?"
"Bella. Bella Hathaway. Senang bertemu denganmu."
"Aku juga. Jadi, Bella, sedang apa kau di sini malam-malam begini?"
"Aku... tidak punya tujuan... kabur dari rumah... ayah... dan ibu selalu...mengacuhkanku..."
Klaus tersenyum. Kurasa dia mengetahui jeritan-jeritan yang menggema di kepalaku. "Jangan disembunyikan," katanya. "Keluarkan saja."
"Kau mind-reader, kau bisa tahu, iya 'kan?"
Dia mengangguk lalu duduk di sepetak tanah yang berumput. "Kaulah yang pertama yang bisa berkata ringan seperti itu kepadaku."
Aku ikut duduk di sampingnya. "Wah, aku tersanjung."
Dia tertawa pelan. "Karena..."
"Ya?"
"Setiap kali orang itu berkata padaku, mereka akan merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi."
"Oh?"
"Seperti..." dia mendekatiku. Mendekati leherku, lebih tepatnya. "Aku akan menghisapmu sampai ke..."
Lalu tiba-tiba aku berada dalam kegelapan.
"Kau benar," aku terlonjak karena kaget. Ada seorang laki-laki putih dan... tinggi yang berjalan ke arahku. "Aku lebih suka sungai yang seperti itu."
"Bagaimana... kau...?"
"Aku seorang mind-reader." Katanya tenang. "Omong-omong, namaku Klaus. Klaus Dellaire. Kau?"
"Bella. Bella Hathaway. Senang bertemu denganmu."
"Aku juga. Jadi, Bella, sedang apa kau di sini malam-malam begini?"
"Aku... tidak punya tujuan... kabur dari rumah... ayah... dan ibu selalu...mengacuhkanku..."
Klaus tersenyum. Kurasa dia mengetahui jeritan-jeritan yang menggema di kepalaku. "Jangan disembunyikan," katanya. "Keluarkan saja."
"Kau mind-reader, kau bisa tahu, iya 'kan?"
Dia mengangguk lalu duduk di sepetak tanah yang berumput. "Kaulah yang pertama yang bisa berkata ringan seperti itu kepadaku."
Aku ikut duduk di sampingnya. "Wah, aku tersanjung."
Dia tertawa pelan. "Karena..."
"Ya?"
"Setiap kali orang itu berkata padaku, mereka akan merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi."
"Oh?"
"Seperti..." dia mendekatiku. Mendekati leherku, lebih tepatnya. "Aku akan menghisapmu sampai ke..."
Lalu tiba-tiba aku berada dalam kegelapan.