Ketika dia berjalan menuju pantai, hujan turun dengan derasnya. Lucu sekali bagaimana ia merencanakan segala sesuatunya dengan begitu sempurna; dengan menyempatkan diri melihat ramalan cuaca di televisi pagi tadi, dan bahkan ia sempat membongkar lemari pakaiannya untuk mencari baju favoritnya di tumpukan paling bawah. Yah, baju yang pernah menjadi favoritnya.
Dia memandang lautan luas di hadapannya berubah menjadi hitam ketika awan-awan bergemuruh menghalangi sinar matahari. Halangilah, begitu pikirnya. Tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk tetap berada di sini walaupun hujan turun seberapapun derasnya.
Hujan yang jatuh dari langit seakan ditumpahkan begitu saja dari sebuah wadah yang besar. Tak sampai semenit seluruh tubuhnya basah kuyup. Keadaan di sekitarnya juga tak lebih baik. Pasir pantai yang seharusnya berwarna cokelat keemasan sekarang berubah menjadi cokelat lumpur yang jelek. Lautan tak lagi biru. Bahkan rasanya angin yang bertiup berubah warna menjadi abu-abu.
Dingin.
Tubuhnya mulai bergetar. Kedua tangannya mengepal begitu erat di kedua sisi tubuhnya, berusaha menahan dingin yang datang menerjang. Bibirnya memutih tanpa ia sadari. Ia memejamkan mata, berusaha untuk menyatukan diri dengan dinginnya angin dan air hujan. Karena masih ada yang lebih dingin dari pada ini.
Mungkin jika serpihan-serpihan salju itu mencair akan terasa lebih hangat. Mungkin jika hujan badai ini mereda akan terasa lebih hangat. Tetapi mengapa salju itu dingin? Mengapa hujan badai ini dingin?
Dia ingat saat pertama kali ia kedinginan. Terhenyak di sudut kamar, memandangi langit-langit yang berwarna putih, diiringi dengan teriakan-teriakan amarah dua orang yang sangat disayanginya. Dia ingat pecahan kaca jendela yang menggores kakinya ketika ia berusaha untuk lari. Dia ingat bagaimana dirinya dibuang dan tidak lagi dicari. Saat itulah pertama kali ia kedinginan.
Kemudian kali kedua ia kedinginan. Tenggelam dalam laut yang hitam kelam, menggapai-gapai ketiadaan, diiringi dengan gelembung-gelembung karbon yang melayang bebas ke permukaan. Dia ingat betapa eratnya cengkeraman tangannya sendiri pada lehernya. Dia ingat bagaimana ia hampir mati. Dia ingat bagaimana dinginnya lautan.
Ia membuka matanya. Ia masih berada di depan laut, dengan kedua kakinya tenggelam di bawah pasir pantai. Mukanya pucat, seandainya ia bisa melihat wajahnya sendiri. Kedua tangannya membuka, melepaskan sedikit kehangatan yang tersimpan di sela-sela jarinya. Ujung-ujungnya mengkerut karena terlalu lama kedinginan.
Sebenarnya ia mencari kehangatan. Namun yang ia dapat malah kedinginan sekali lagi. Sudah cukup muak ia dengan segala macam bentuk ‘dingin’ yang ia terima. Ia berharap semua ‘dingin’ itu akan mencair. Mencair dan berbalik menerima kehangatan yang ia butuhkan. Tetapi dingin ini terlalu dingin untuk ditembus.
Sejak ia merasakan dingin untuk yang pertama kali, seolah-olah dingin itu sendiri tertarik kepadanya. Sejak saat itu, kehangatan mulai menghilang dari kehidupannya dan tergantikan oleh kedinginan. Semua orang yang disayanginya satu persatu lenyap terbawa oleh angin jahat yang berhawa beku, mengeraskan apapun yang dilewatinya. Termasuk hatinya.
Ia membutuhkan banyak sekali api, banyak sekali uap panas yang mengepul untuk mencairkan es yang sudah lama terbentuk di dalam dirinya. Dingin yang sudah sejak bertahun-tahun yang lalu berdiam diri tidak akan banyak membantu. Namun setiap kali ia mendekat kepada sebentuk api atau apapun yang bisa menghangatkan, api tersebut akan padam tertiup angin. Dingin itu tidak mengizinkan dirinya untuk dilelehkan. Harganya terlalu tinggi untuk meleleh.
Sejenak dengan putus asa ia memandang kedua tangannya yang mengeriput. Apakah sampai ia mati nanti dirinya akan tetap seperti ini, mengeriput kedinginan kemudian mati dengan penuh hina.
Lucu sekali.
Ia menutup matanya sekali lagi, dan mengepalkan kedua tangannya sekali lagi. Ia membenamkan kuku-kuku jarinya ke dalam telapak tangannya, menekannya begitu keras hingga meninggalkan empat lekukan kecil berbentuk setengah lingkaran di sana. Mungkin jika ia berusaha keras untuk mencari, ia akan menemukan kehangatan. Walaupun sedikit.
Mungkin jika ia bisa menemukan api yang lain, api yang lebih kuat, dinginnya akan menghangat dan mencair.
Tetapi kenapa dingin ini terlalu dingin?
Dia memandang lautan luas di hadapannya berubah menjadi hitam ketika awan-awan bergemuruh menghalangi sinar matahari. Halangilah, begitu pikirnya. Tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk tetap berada di sini walaupun hujan turun seberapapun derasnya.
Hujan yang jatuh dari langit seakan ditumpahkan begitu saja dari sebuah wadah yang besar. Tak sampai semenit seluruh tubuhnya basah kuyup. Keadaan di sekitarnya juga tak lebih baik. Pasir pantai yang seharusnya berwarna cokelat keemasan sekarang berubah menjadi cokelat lumpur yang jelek. Lautan tak lagi biru. Bahkan rasanya angin yang bertiup berubah warna menjadi abu-abu.
Dingin.
Tubuhnya mulai bergetar. Kedua tangannya mengepal begitu erat di kedua sisi tubuhnya, berusaha menahan dingin yang datang menerjang. Bibirnya memutih tanpa ia sadari. Ia memejamkan mata, berusaha untuk menyatukan diri dengan dinginnya angin dan air hujan. Karena masih ada yang lebih dingin dari pada ini.
Mungkin jika serpihan-serpihan salju itu mencair akan terasa lebih hangat. Mungkin jika hujan badai ini mereda akan terasa lebih hangat. Tetapi mengapa salju itu dingin? Mengapa hujan badai ini dingin?
Dia ingat saat pertama kali ia kedinginan. Terhenyak di sudut kamar, memandangi langit-langit yang berwarna putih, diiringi dengan teriakan-teriakan amarah dua orang yang sangat disayanginya. Dia ingat pecahan kaca jendela yang menggores kakinya ketika ia berusaha untuk lari. Dia ingat bagaimana dirinya dibuang dan tidak lagi dicari. Saat itulah pertama kali ia kedinginan.
Kemudian kali kedua ia kedinginan. Tenggelam dalam laut yang hitam kelam, menggapai-gapai ketiadaan, diiringi dengan gelembung-gelembung karbon yang melayang bebas ke permukaan. Dia ingat betapa eratnya cengkeraman tangannya sendiri pada lehernya. Dia ingat bagaimana ia hampir mati. Dia ingat bagaimana dinginnya lautan.
Ia membuka matanya. Ia masih berada di depan laut, dengan kedua kakinya tenggelam di bawah pasir pantai. Mukanya pucat, seandainya ia bisa melihat wajahnya sendiri. Kedua tangannya membuka, melepaskan sedikit kehangatan yang tersimpan di sela-sela jarinya. Ujung-ujungnya mengkerut karena terlalu lama kedinginan.
Sebenarnya ia mencari kehangatan. Namun yang ia dapat malah kedinginan sekali lagi. Sudah cukup muak ia dengan segala macam bentuk ‘dingin’ yang ia terima. Ia berharap semua ‘dingin’ itu akan mencair. Mencair dan berbalik menerima kehangatan yang ia butuhkan. Tetapi dingin ini terlalu dingin untuk ditembus.
Sejak ia merasakan dingin untuk yang pertama kali, seolah-olah dingin itu sendiri tertarik kepadanya. Sejak saat itu, kehangatan mulai menghilang dari kehidupannya dan tergantikan oleh kedinginan. Semua orang yang disayanginya satu persatu lenyap terbawa oleh angin jahat yang berhawa beku, mengeraskan apapun yang dilewatinya. Termasuk hatinya.
Ia membutuhkan banyak sekali api, banyak sekali uap panas yang mengepul untuk mencairkan es yang sudah lama terbentuk di dalam dirinya. Dingin yang sudah sejak bertahun-tahun yang lalu berdiam diri tidak akan banyak membantu. Namun setiap kali ia mendekat kepada sebentuk api atau apapun yang bisa menghangatkan, api tersebut akan padam tertiup angin. Dingin itu tidak mengizinkan dirinya untuk dilelehkan. Harganya terlalu tinggi untuk meleleh.
Sejenak dengan putus asa ia memandang kedua tangannya yang mengeriput. Apakah sampai ia mati nanti dirinya akan tetap seperti ini, mengeriput kedinginan kemudian mati dengan penuh hina.
Lucu sekali.
Ia menutup matanya sekali lagi, dan mengepalkan kedua tangannya sekali lagi. Ia membenamkan kuku-kuku jarinya ke dalam telapak tangannya, menekannya begitu keras hingga meninggalkan empat lekukan kecil berbentuk setengah lingkaran di sana. Mungkin jika ia berusaha keras untuk mencari, ia akan menemukan kehangatan. Walaupun sedikit.
Mungkin jika ia bisa menemukan api yang lain, api yang lebih kuat, dinginnya akan menghangat dan mencair.
Tetapi kenapa dingin ini terlalu dingin?